RSS

RASA INFERIOR KITA

Budaya yang berkembang di Indonesia saat ini bukanlah budaya yang telah kita warisi semenjak zaman Nusantara dulu. Tetapi budaya yang berasal dari suatu kawasan tertentu yang bersifat transnasional dimana sebagian besar sangat jauh dengan nilai-nilai kultural milik kita.  Misalnya dari segi musik, K-Pop dan Western Music sudah sangat melenakan anak muda, bahkan sampai ada yang mengidentifikasikan diri dan jenis musiknya dengan musik-musik tersebut, sehingga muncullah photo copy dari jenis-jenis musik asing itu beserta variannya. Alhasil, alunan gamelan, pertunjukan wayang , angklung, saluang, kecapi dan jenis musik tradisional khas Indonesia lainnya semakin hari semakin jarang kita jumpai.

Ditinjau dari kondisi kultural tersebut, secara psikologis penulis melihat adanya semacam inferioritas, yaitu perasaan rendah diri terhadap sesuatu yang dianggap lebih dari pada yang kita miliki,  dalam diri bangsa Indonesia khususnya anak muda. Karena yang dianggap gaul dan keren adalah hal yang sedang nge-trend didunia seperti jenis musik yang telah dibicarakan. Sehingga ada kebanggaan tersendiri ketika mengikuti tren tersebut. Mungkin, kalau kita ditanya mengenai jenis kesenian apa yang disuka lalu kita menjawab dengan alunan kecapi atau nonton wayang, barangkali kita akan dikira tidak gaul, jadul dan sejenisnya. Dengan demikian, kultur Indonesia secara tidak langsung sudah terjajah.

Faktor utama dari inferioritas ini adalah kontak antar  budaya yang sudah tidak dapat dielakkan lagi. Dalam kontak tersebut manusia bisa menjumpai budaya yang dinilainya lebih menarik dan lebih tinggi dari pada budaya yang diwarisinya. Apalagi dalam konteks dunia saat ini dimana batas-batas negara seakan-akan tidak ada (borderless country). Hal ini ditandai dengan arus informasi yang sedemikian cepatnya bergulir, melintasi batas ruang dan waktu, sehingga hal apapun yang baru terjadi, ditemukan atau ditampilkan disuatu negara akan dengan cepat sampai di negara lainnya diseluruh dunia.

Didalam proses kontak antar budaya, terutama yang ditampilkan lewat berbagai media, terdapat proses penyajian budaya yang dilakukan secara berulang meskipun dalam kemasan yang berbeda. Misalnya suatu kali adegan berpelukan ditempat umum di tampilkan lewat sebuah film. Kemudian pada film yang lain, adegan serupa ditampilkan lagi, lalu pada sebuah video klip musik, selanjutnya pada majalah remaja dan begitu seterusnya. Pengulangan (repetition) secara terus menerus seperti ini untuk kali pertama akan menimbulkan kesan bahwa hal itu tidak dapat diterima karena memang tidak sesuai dengan kultur yang dimiliki Indonesia. Namun setelah dialami beberapa kali mulai timbul perubahan kesan; alangkah romantisnya adegan itu. Lalu terciptalah suatu formasi persepsi pada otak, bahwa adegan yang demikian merupakan hal yang biasa ketika orang bermadu kasih. Ketika telah terbentuk persepsi seperti ini, maka yang bersangkutan akan terdorong untuk melakukan hal yang sama. Proses yang sama juga berlaku terhadap hal lain, seperti pakaian, tarian, makanan dan lain sebagainya.

Hal lain yang terjadi akibat kontak budaya melalui media adalah rasisnya manusia Indonesia terhadap dirinya sendiri. Dalam iklan-iklan produk kecantikan dilukiskan secara tersirat, bahwa yang cantik itu adalah perempuan yang berkulit putih, tinggi dan bertubuh langsing serta berambut lurus. Demikian pula pada laki-laki, bahwa yang dinilai ganteng adalah berkulit putih, berdada bidang, tinggi dan macho serta kalau bisa yang berhidung mancung. Padahal rata-rata kulit orang Indonesia adalah sawo matang dan kuning langsat serta ada pula etnis yang rambutnya keriting semenjak lahir, sedangkan yang ditampilkan dalam iklan adalah bintang yang telah dipoles sedemikian rupa atau bintang yang blasteran sehingga berkulit putih, berambut lurus dan seterusnya. Akibatnya berlomba-lombalah kaum muda Indonesia mempercantik dirinya dengan produk yang ditawarkan, tanpa mengkritisi konten dan maksud iklan terkait.

Paparan diatas menunjukkan bahwa rasa inferioritas bangsa Indonesia sekarang, khususnya para pemuda, merupakan kenyataan yang mesti disadari. Mesti ada usaha-usaha kultural maupun politis untuk meningkatkan kecintaan masyarakat terhadap budayanya sendiri. Selain itu hal yang harus sangat diperhatikan adalah bagaimana usah-usaha untuk menumbuhkan kebanggaan terhadap bangsa dan budaya sendiri. Hal-hal yang demikian diperlukan untuk mempertinggi rasa percaya diri kita sebagai suatu bangsa ditengah – tengah gempuran budaya asing. Sehingga kita bisa menampilkan diri tanpa harus merasa inferior apalagi rasis terhadap diri kita sendiri.

ditulis oleh

Muhammad Farid Salman Alfarisi RM

 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada Mei 16, 2017 inci analisis, pengalaman, refleksi, wacana

 

Tag: , , , , , , , , ,

MENGEMBALIKAN ILMU PENGETAHUAN KEPADA PEMILIKNYA

bodo

Akibat dari penjajahan terhadap kaum Muslimin dimasa lampau, muncullah berbagai macam persoalan yang melanda kaum Muslimin. Ismail Raji Al Faruqi membagi persoalan ini kedalam tiga kategori. Pertama adalah persoalan dibidang politik dimana ummat Islam terpecah kedalam sekat-sekat negara. Sehingga hal ini terus menerus menyebabkan munculnya ketegangan-ketegangan antar sesama Muslim sendiri akibat berbedanya wilayah Negara mereka. Selain itu sebagai konsekuensi penjajahan yang telah berlangsung lama, ada juga kelompok dari pada masyarakat itu sendiri yang kemudian mengikuti agama penjajah, sehingga mereka terpisahkan dari  rekan-rekannya yang Muslim. Kedua, dalam bidang ekonomi dimana negara kaum Muslimin bergantung kepada Negara penjajah baik dalam bentuk perdagangan biasa, sampai kepada Industri. Ketiga, dalam bidang religius- kultural ummat Islam pecah kedalam dua bagian, yaitu golongan yang telah terbaratkan dan golongan yang sangat membenci barat[1]. Hal terakhir inilah yang kelihatan sangat signifikan hingga hari ini, karena berdampak besar terhadap ilmu pengetahuan, dimana orang-orang yang terbaratkan begitu menggandrungi pengetahuan dari Barat sementara yang lain hanya berkutat dengan persoalan-persoalan kegamaan tanpa turut berkontribusi terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dalam arti modern. Singkatnya, pada tahapan ini telah terjadi dualisme yang begitu kentara antara persoalan yang bersifat keduniaan dengan persolan yang bersifat keakhiratan.

Syed Muhammad Naquib Al Attas menjelaskan pemisahan (dualisme)  ini berakar dari paham sekulerisme yang berkembang di barat, yang muncul di abad pertengahan akibat telah lemahnya otoritas Gereja. Paham ini sering juga disebut dengan nama humanisme yang hanya mementingkan persoalan kemanusiaan dan keduniaan saja serta mengenyampingkan aspek Ketuhanan dalam kehidupan[2]. Tidak hanya berusaha meyingkirkan persoalan religius dari masyarakat, beberapa paham sekulerisme juga melihat agama sebagai tempat pelarian. Contohnya adalah pendapatnya Ludwig Feuerbach mengenai menyatakan bahwa agama adalah  proyeksi yang bersifat khayali mengenai keinginan dan harapan manusia. Konsepsi proyeksi ini kemudian dibawa oleh Karl Marx ke dalam Marxisme dan oleh Sigmund Freud ke dalam Psikologi. Marx memandang agama sebagai tempat bagi orang-orang yang merasa gagal dalam kehidupan ini. Seiring dengan itu Freud menyatakan bahwa agama merupakan ilusi yang muncul akibat penderitaan-penderitaan dari manusia. Sehingga manusia memunculkan zat yang dapat memberikan keadilan kepada mereka[3].

Keterangan diatas memberikan penjelasan, bahwa penjajahan tidak hanya membawa dampak fisik material terhadap orang yang dijajah, dalam hal ini kaum Muslimin, melainkan juga meninggalkan pemahaman yang berasal dari alam berfikir si penjajah. Karena itu, hari ini dapat disaksikan secara praktis, bahwa orientasi keduniaan dengan orientasi keakhiratan (berbasiskan agama) telah terpisah. Hal ini berlaku tidak hanya dibidang politik dan ekonomi,  tapi juga dibidang-bidang lainnya terutama pendidikan.

Pendidikan yang berlangsung saat ini membawa dampak yang cukup besar terhadap kaum Muslimin. Sebab, kata “barat” sendiri mengandung konotasi positif, karena telah berhasil membuktikan dirinya dengan kemajuan-kemajuan yang dicapainya. Oleh karena itu, banyaklah kaum Muslimin yang belajar ke barat supaya dapat ikut serta dalam kemajuan tersebut. Akibatnya, keilmuan barat yang telah diajarkan tersebut menjadi tren di institusi-institusi pendidikan Islam. Dampaknya ternyata tidak hanya pada pada ranah ilmu-ilmu yang bersifat “dunia” saja, namun juga terhadap ilmu-ilmu agama. Sehingga muncullah  hasilnya yang beberapa membuat rusuh masyarakat secara langsung seperti perempuan jadi imam shalat sampai yang terakhir ini kasus Tuhan membusuk.

Karena keilmuan barat berasaskan paham sekuler dalam artian berpusat kepada manusia dan kemanusiaan belaka serta terpisah dari aspek agama, sehingga konstruksi keilmuan itu sendiri berubah, sesuai dengan berubahnya keadaan pemahaman manusianya. Hal ini dapat dilihat dengan berubahnya tren keilmuan modern kepada keilmuan posmodern. Keilmuan modern dinilai membawa berbagai masalah seperti eksploitasi alam, membuat manusia sebagai objek sehingga menjadi seperti mesin, standar kebenaran tertinggi terletak pada ilmu positif-empiris yang menyebabkan dekadensi moral, sampai kepada mengunggulkan ras, agama tau kelompok tertentu[4]. Tawaran keilmuan posmodern diantaranya adalah konstruksi realitas mulai dari diri sampai kepada Tuhan bersifat semiotik, artifisial dan ideologis. Kemudian pluralitas dalam pengelolaan realitas. Posmodern juga tidak melihat rasionalitas sebagai kemampuan utama tapi juga kemampuan-kemampuan lainnya seperti emosi dan spiritualitas[5] dan lain sebagainya. Tren keilmuan barat yang mengalami perubahan seperti ini tentunya berdampak pula pada kaum Muslimin yang terpengaruh kepada hal tersebut. Sehingga, ketika pada zaman modern kaum muslimin konsentrasi keterpengaruhan kaum muslimin pada tataran dikotomis pemikiran, pada zaman postmodern lebih jauh lagi berupa pemberlakuan konsepsi keilmuan yang berorientasi dunia terhadap agama, sehingga lahirlah istilah seperti feminis Muslim yang mendekonstruksi konsep hubungan laki-laki dan perempuan dalam Islam.

Persoalan mendasar dalam ilmu pengetahuan diatas, dimana ilmu pengetahuan yang ada menjauhkan ummat Islam dari agamanya, melahirkan respon dari berbagai pemikir Muslim. Diantaranya adalah Syed Muhammad Naquib Al Attas, Ismail Raji Al Faruqi dan Syed Hussein Nasr dengan agenda Islamisasi Ilmu Pengetahuannya. Agenda ini bertujuan untuk mengembalikan ilmu pengetahuan yang tersekulerkan kedalam pangkuan kaum Muslimin. Paling tidak ada dua sasaran yang dituju. Pertama adalah untuk menghasilkan system ilmu yang komprehensif dalam memahami semesta dan isinya. Kedua bertujuan untuk membangun system Islam untuk kepentingan umat Islam yang diharapkan bermanfaat untuk seluruh umat manusia[6].

Sebagai sebuah jawaban atas sekulerisme yang berkembang dalam pengetahuan, Al Attas mendefinisikan Islamisasi sebagai usaha untuk:

“pertama-tama pembebasan manusia dari tradisi magis, mitologis, animistis,  nasional-kultural, dan sesudah itu pengendalian sekuler dari nalar dan bahasanya”[7].

Dalam definisi terlihat suatu gambaran yang jelas mengenai apa saja yang harus di Islamkan. Ada dua istilah penting yang digunakan dalam definisi ini yaitu pembebasan dan pengendalian. Pembebasan disini bermakna penghilangan tradisi-tradisi yang tidak sesuai dengan ajaran Islam yang bersumber dari lokalitas, maupun kawasan. Kemudian setelah itu menjaga pemikiran dan juga bahasa kaum muslimin dari kekacauan yang ditimbulkan oleh sekulerisme.

Islamisasi ini sangat erat kaitannya dengan persolan pengetahuan yang kita sebut diawal. Al Attas menyebutnya dengan istilah corruption of knowledge (kekacauan ilmu pengetahuan) yang merupakan tantangan real ummat Islam. Hal ini disebabkan oleh kebingungan yang melanda kaum muslimin sendiri dan juga pengaruh dari filsafat, sains, dan ideologi dari peradaban dan kultur kebudayaan barat Modern. Lebih jauh Al Attas menerangkan bahwa kebingungan intelektual muncul akibat pembatasan makna dari kata-kata kunci  yang menggambarkan worldview (pandangan alam) yang berasal dari wahyu. Akibatnya adalah terjadinya degradasi moral, penyimpangan kebudayaan, kemunduran agama dan nilai[8]. Worldview disini tidak dimaknai sebagai pandangan dunia, melainkan pandangan alam. Karena konsepsi pandangan Islam tidak hanya sebatas persoalan keduniaan saja, namun juga persoalan-persoalan religius seperti Tuhan, Nabi, Wahyu dan sebagainya[9].

Agenda Islamisasi Ilmu Pengetahuan ini bukanlah sekedar respon yang sifatnya temporal saja, akan tetapi merupakan usaha-usaha yang serius. Ismail Raji Al Faruqi mendirikan The International Institute of Islamic Thought (IIIT) di Washington DC pada tahun 1981. Lembaga ini kemudian banyak mengadakan pertemuan internasional, penerbitan buku, jurnal dan sebagainya[10].Walaupun lembaga tersebut tetap eksis hingga saat ini, sayangnya, Al Faruqi bersama istrinya meninggal karena dibunuh beberapa tahun setelah dia mendirikan lembaga tersebut[11]. Lebih jauh dari pada itu, Syed Muhammad Naquib Al Attas mendirikan sebuah sekolah pasca sarjana yang bersungguh-sungguh untuk mendalami keilmuan Islam yang dikenal dengan nama International Insitute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC) pada tahun 1987 dan dibuka secara resmi pada tahun 1991[12]. Tujuan pendirian lembaga ini ada dua; pertama, untuk menjelaskan konsep penting yang relevan terkait masalah pendidikan, epistemologi, kebudayaan dan keilmuan yang dihadapi kaum Muslimin saat ini. Kedua sebagai usaha untuk menjawab tantangan intelektual dan kultural dari dunia modern dan juga pemikiran dari berbagai kelompok pemikiran, ideologi serta agama[13].

Mengenai langkah-langkah yang akan dilakukan dalam melakukan Islamisasi Ilmu Pengetahuan, terdapat perbedaan antar Al Faruqi dan Al Attas. Al Faruqi menyatakan ada lima sasaran yang harus dituju. Lima sasaran tersebut adalah penguasaan disiplin ilmu modern,penguasaan khasanah islam, penentuan relevansi Islam bagi masing-masing bidang ilmu modern, pencarian sintesa kreatif antara khasanah Islam dengan ilmu modern dan pengarahan aliran pemikiran Islam kejalan-jalan yang mencapai pemenuhan pola rencana Allah SWT[14]. Dilain pihak Al Attas menyatakan dua hal fundamental yang mesti dilakukan. Pertama adalah menyisihkan unsur-unsur dan konsep-konsep kunci yang melengkapi peradaban dan kebudayaan barat. Kemudian setelah itu barulah memasukkan unsur-unsur dan konsep-konsep Islam kedalamnya[15].

Perbedaan diatas tidaklah menghilangkan substansi bahwasanya Islamisasi Ilmu Pengetahuan harus dilakukan. Sebab sudah nyata berbagai macam persoalan yang ditimbulkan oleh pengetahuan barat. Persoalan ini tidak hanya terletak pada pembatasan pengetahuan yang terpusat pada aspek rasionalitas saja, melainkah juga sampai kepada ranah praktis, bahwa semakin ramai ummat Islam tidak peduli lagi pada ajaran agamanya. Karena itulah gagasan ini patut disebarkan dan menjadi agenda bersama, terutama bagi generasi muda Islam. Sebab ilmu pengetahuan itu sendiri, dalam perspektif Islam bukanlah bersumber dari manusia dan kebudayaannya, melainkan dari sang Pencipta, Allah SWT. Sehingga kewajiban kaum Musliminlah untuk menjaga ilmu pengetahuan kaumnya supaya sesuai dengan yang digariskan oleh Allah SWT. Maka kembalikanlah ilmu pengetahuan itu kepada-Nya.

ditulis untuk pengantar diskusi Bodo-bodoan di UIN Sunan Kalijaga 12 Desember 2014

oleh Muhammad Farid Salman Alfarisi RM

tulisan ini dimuat juga dalam blog: http://bodoisme.blogspot.com/2014/12/mengembalikan-ilmu-pengetahuan-pada.html

 

Catatan Akhir:

 

[1] Ismail Raji Al Faruqi, Islamisasi Pengetahuan, Bandung: Pustaka, 2003 hal 2-11

[2] Syed Muhammad Naquib Al Attas, Risalah Untuk Kaum Muslimin, Kuala Lumpur: ISTAC, 2001 hal 19-20

[3] H.M Rasyidi, Filsafat Agama, Jakarta: Bulan Bintang, 1983 hal 112-137

[4] Sugiharto dalam Dwi Septiwiharti “Posmodernisme dan Pendidikan di Indonesia (Sebuah Refleksi Filosofis)” INSPIRASI,No X Juli 2010, hal 122-123

[5] Sugiharto, ibid hal 125-126

[6] Djamaludin Ancok dan Fuat Nashori Suroso, Psikologi Islami, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003 hal 103-104

[7] Syed Muhammad Naquib Al Attas, Islam dan Sekulerisme, Bandung: Pustaka, 1981 hal 61

[8] Syed Muhammad Naquib Al Attas, Prolegomena to The Metaphysics of Islam, Kuala Lumpur: ISTAC, 2001 hal 15

[9] Ibid, bagian Introduction

[10] Djamaludin Ancok dan Fuat Nashori Suroso, Psikologi Islami hal 107.

[11] pengantar terhadap buku Ismail R. Al Faruqi dan Lois Lamya Al Faruqi, Atlas Budaya Islam, Bandung: Mizan, 2003 hal 5

[12] Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat Pendidikan Islam Syed Muhammad Naquib Al Attas, Bandung: Mizan, 2003 hal 54 dan 207

[13] Ibid, hal 231

[14] Al Faruqi kemudian mengelaborasi kelima sasaran ini kedalam 12 langkah. Untuk jelasnya lihat Ismail Raji Al Faruqi, Islamisasi Pengetahuan, hal 98-118

[15] Syed Muhammad Naquib Al Attas, Islam dan Sekulerisme, hal 237-238

 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada Desember 17, 2014 inci analisis, wacana

 

Tag: , , , , , , , , , , ,

Kampanye yang Mencerdaskan dan Berkeadaban

pertamaxx

Masyarakat sebagai pemilih merupakan elemen yang sangat penting dalam pemilu. Sebab pada masyarakatlah partai politik peserta pemilu menggantungkan “nasibnya”.  Untuk itu partai politik melakukan berbagai cara dalam rangka mempengaruhi masyarakat, seperti memasang gambar dengan  berbagai slogan perubahan, turun langsung ke masyarakat yang didaerah  pemilihan dan sebagainya. Melalui berbagai cara itu partai politik berharap akan mendulang suara yang banyak pada Pemilu nantinya.

Dalam kampanye yang dilakukan partai politik hendaknya tidak hanya memperhatikan cara yang bermanfaat untuk mereka, melainkan  juga melihat bagaimana cara yang dilakukannya bisa mencerdaskan masyarakat. Hal yang dapat dilakukan adalah dengan melihat hubungan dari dua hal, yaitu proses pengambilan keputusan pemilih dan ketersampaian visi serta tujuan dari masing-masing partai . Terkait yang pertama, dalam psikologi politik dikenal istilah Rational Choice Theory (teori pilihan yang rasional). Richard R. Lau menyatakan bahwa pengambil keputusan (dalam hal ini pemilih) mesti mengumpulkan informasi yang cukup mengenai semua hal yang masuk akal untuk dievaluasi.

Dalam hubungannya dengan pemilu yang akan berlangsung pada 9 April nanti, para pemilih, khususnya pada masa kampanye, mesti mendapatkan informasi mengenai partai politik , caleg, visi yang dibawanya, kemungkinan program yang akan diusulkannya serta sisi positif dan negatif yang melekat padanya. Melalui informasi ini, masyarakat bisa mempertimbangkan kemungkinan partai yang akan dipilihnya dengan jelas. Sehingga mereka dapat memilih dengan sadar serta dapat bertanggung jawab atas pilihannya.

Pertanyaan kemudian muncul mengenai kemampuan dan kemauan masyarakat untuk mendapatkan informasi yang cukup.  Hal yang dipertimbangkan adalah akses informasi mengenai visi partai dan calegnya yang berkemungkinan besar hanya dapat diakses dan dipahami dengan baik oleh masyarakat yang berpendidikan tinggi. Ditambah lagi keapatisan masyarakat yang disebabkan oleh image bahwa politik itu kotor. Besarnya angka golput pada pemilu 2009 merupakan cerminan hal ini.

Untuk menjawab hal tersebut, partai dan calegnya mesti berusaha lebih keras lagi. Setiap pihak yang berkompetisi harus menjelaskan visinya sampai kemasyarakat akar rumput.  Misalnya calon legislatif (caleg) bisa memulai hal ini dari penjelasan tentang mengapa dia menjadi calon, mengapa harus di partai tertentu dan apa yang akan dikerjakannya ketika terpilih serta apa dampaknya terhadap masyarakat. Selain itu  para caleg juga harus sering turun ke bawah. Turun kebawah maksudnya bukan lagi untuk mengidentifikasi persoalan masyarakat, karena semestinya mereka sudah memahami, melainkan mengenalkan dirinya dengan visi yang berkaitan dengan masalah yang terjadi. Sehingga visinya tersebut mampu meyakinkan masyarakat bahwa jadi caleg adalah panggilan untuk berkontribusi dalam menyelesaikan masalah, bukan untuk menambah masalah baru.

Pentingnya hal tersebut dilakukan supaya kampanye tidak hanya menjadi retorika untuk mempengaruhi pemilih saja. Tetapi disana juga ada proses memberikan pemahaman bahwa jika dia dan partainya menang, akan membawa perubahan yang jelas atau setidaknya jelas arah yang dicita-citakannya. Dengan demikian masyarakat akan memahami, kenapa pada akhirnya dia mesti memilih si fulan atau si fulanah.

Berdasarkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nomor 21 Tahun 2013, Pemilu akan dilaksanakan pada tanggal 09 April. Hal ini berarti momentum yang sarat muatan psikologis bagi para politisi sudah mulai mendekati puncaknya. Hal yang pasti ditanyakan oleh mereka adalah apakah mereka mendapat tempat dihati masyarakat, sehingga mendapatkan suara yang banyak. Jawaban pertanyaan ini tentu saja berawal dari sejauh mana masyarakat mengenalnya dan  partainya. Dalam memastikan hal ini, strategi kampanye politik yang dianggap paling jitu akan dijalankan demi memenangkan pemilu.

Apapun strategi yang dijalankan, hal yang mesti selalu diingat adalah adab dalam berpolitik. Bahwa setiap pihak yang berkepentingan mesti menghormati hak-hak lawan politiknya dan berkewajiban mematuhi peraturan yang berlaku. Jangan sampai pemilu yang seharusnya menjadi ajang perang strategi dimana negara dipertaruhkan, beralih rupa menjadi ajang mencoreng muka lawan politik atau menjalankan strategi yang tidak fair. Beberapa hasil Pilkada yang menunjukkan bahwa kontestan yang kalah dan tidak senang hati lalu di kemudian hari menggugat merupakan contoh bahwa adab diruang politik belum berjalan sebagaimana semestinya. Karena itu setiap pihak yang berkaitan dengan pemilu seperti caleg dan partainya, KPU dan elemen lainnya diharapkan secara bersama-sama mampu menjaga suasana politik yang beradab.

Sila kedua Pancasila adalah kemanusiaan yang adil dan beradab. Hal ini merupakan azas sekaligus cita-cita untuk membentuk Indonesia yang berkeadilan dan berkeadaban. Menjaga adab dalam konteks politik adalah untuk memberikan keteladanan kepada masyarakat. Sebab masyarakat akan melihat bagaimana para tokoh dan calon pemimpin mereka berkompetisi. Apabila para tokoh ini memperlihatkan contoh yang baik dalam berkompetisi sesamanya, maka disitulah kepercayaan masyarakat akan meningkat. Sebaliknya jika cara-cara yang tidak sehat digunakan maka hal itu akan merusak kepercayaan masyarakat dan masyarakat itu sendiri. Karena dalam “cara-cara” itu, tentu saja melibatkan masyarakat secara langsung.

Disisi lain sekali lagi ditekankan bahwa partai politik harus berani mengusahakan jika mereka terpilih, masyarakat yang memilih mereka telah melakukannya dengan sadar dan beralasan. Tidak hanya berdasarkan slogan di gambar yang dipampang ditepi jalan, tapi berdasarkan visi yang dipahami masyarakat. Karena kalau dikaitkan dengan sila kedua Pancasila diatas, tidaklah adil kalau seseorang mesti memilih sesuatu yang belum jelas baginya. Apalagi di zaman ini partai politik apapun azasnya, semua mengusung tema perubahan yang abstrak, sehingga konsekuensi memilihpun menjadi relatif. Dengan beradabnya para politisi dan cerdasnya para pemilih, diharapkan akan mampu menciptakan situasi yang lebih baik bagi Indonesia di masa mendatang.

 

Muhammad Farid Salman Alfarisi RM

tulisan ini dimuat di harian Malutpost 21 Januari 2014

 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada Desember 10, 2014 inci Uncategorized

 

Catatan Kecil dari Iowa

Kesempatan untuk belajar ke negeri Paman Sam merupakan kesempatan yang cukup langka apalagi belajar kesana dengan menggunakan beasiswa. Karena itu dalam tulisan ini pertama kali penulis ingin mengucapkan syukur Alhamdulillah kepada Allah SWT yang telah memberikan kesempatan itu kepada penulis, sehingga bisa merasakan atmosfir dunia universitas Amerika selama dua bulan. Kemudian terima kasih kepada orangtua dan sanak famili yang telah mendukung sepenuhnya. Tidak lupa juga kepada Bapak Dosen ; Pak Andi, Pak Zidni dan Pak Hilal yang telah bersedia memberikan surat rekomendasi kepada penulis sebagai salah satu persyaratan beasiswa tersebut. Program Beasiswa ini bernama IELSP (Indonesian English Language Study Program), sebuah program beasiswa belajar bahasa dan budaya Amerika bagi mahasiswa Indonesia yang disponsori oleh US Department of State lewat kedubes Amerika Serikat di Indonesia yang disalurkan dan dikelola oleh IIEF (Indonesian International Education Foundation).

Di Amerika penulis belajar di Iowa State University (ISU) yang terletak di Ames, sebuah kota yang terdapat di  negara bagian Iowa. Disana penulis belajar bahasa Inggris lewat program IEOP (Intensive English and Orientation Program). IEOP merupakan semacam program persiapan bahasa bagi mahasiswa asing yang akan menempuh kuliah reguler di ISU. Dalam program IEOP disediakan kelas wajib yaitu Reading/Writing, Listening/Speaking (Oral Communication),Grammar, yang mempunyai tiga tingkatan dimana mahasiswa dimasukkan kedalam kelas yang sesuai dengan kemampuannya. Kemudian kelas pilihan wajib tes bahasa yaitu IELTS, Toefl IBT, Toefl PBT serta kelas pilihan skill yaitu Science, Drama, Cooking, Music, Photography, Autobiography dan Public Speaking.

Sekarang, setelah kembali pulang dari Amerika, ketika orang bertanya mengenai apa yang penulis dapatkan sewaktu disana jawabannya hanya satu yaitu Energi Baru. Penulis mengatakan Energi karena hal ini (mungkin) jarang kita dapatkan di Indonesia. Pertama yaitu perihal budaya baca. Di ISU, budaya baca civitas akademikanya tinggi. Hampir disetiap tempat kita berada, akan mudah menemukan mahasiswa yang sedang membaca ; di halte bus, dalam bus, taman,   dan dikampus sendiri. Suatu hal yang unik yang terlihat adalah ketika penulis menunggu bus di halte. Waktu itu penulis melihat seorang pria muda berambut acak, berkaca mata dan berpakaian lusuh. Dia berjalan menuju halte sambil membaca. Setelah naik bus yang kebetulan penuh, pria tersebut bergantungan dengan sebelah tangan sementara tangannya yang lain tetap memegang buku yang sedang dibacanya. Beberapa saat kemudian ada penumpang yang turun lalu si pria kemudian duduk dengan masih tetap membaca bukunya dengan serius. Penulis kemudian menanyakan perihal pria tersebut kepada seorang mahasiswa pasca sarjana dari Indonesia yang kebetulan naik bus yang sama. Ternyata pria tersebut merupakan professor Ilmu Politik lulusan Harvard. Kalau penulis orang jawa, penulis akan berujar, Uedan!.  Setelah penulis eksplorasi lebih lanjut, masyarakat disana ternyata juga mempunyai budaya baca yang tinggi. Orang-orang antri menunggu perpustakaan kota dibuka. Termasuk dalam komponen masyarakat ini bukan hanya yang berusia produktif tetapi orang-orang tuapun masih banyak yang keperpustakaan untuk membaca atau meminjam buku.

Kedua adalah disiplin yang ketat. Dalam proses belajar mengajar tidak ada toleransi keterlambatan sama sekali. Bahkan dosennya datang lebih duluan dari pada mahasiswanya. Begitu waktu belajar masuk, dosen akan langsung mengabsen mahasiswanya satu persatu. Mahasiswa yang terlambat tetap diperbolehkan masuk kelas namun presensi kehadirannya sudah tidak bisa diisi lagi. Ketiga, apresiasi dosen terhadap mahasiswa yang cukup tinggi. Misalnya mahasiswa diberikan tugas untuk membuat suatu tulisan. Pertemuan berikutnya setelah tugas itu diserahkan kita akan melihat tulisan tersebut diperiksa sedetail-detailnya. Sehingga sebagai mahasiswa kita paham akan kesalahan kita. Terkait dengan dosen, kemudian penulis tanyakan lebih lanjut kepada salah seorang mahasiswa pasca sarjana disana. Dikatakan bahwa 60% pekerjaan dosen itu adalah meneliti, 20% mengajar dan 20% pelayanan mahasiswa. Dosen disana juga mempunyai office hour (jam kantor), dimana pada jam-jam tersebut, kecuali sedang mengajar, dosen bisa ditemui diruangannya.

Keempat adalah mengenai kesadaran hukum masyarakat yang cukup tinggi. Suatu kali diceritakan oleh seorang dosen didalam kelas bahwasanya orang tidak akan boleh merokok dan meminum minuman keras kecuali setelah dia berumur 21 tahun keatas, itupun hanya boleh dirumah atau ditempat-tempat tertentu saja. Tertarik membuktikan hal ini penulis lalu mengajak salah seorang kawan dari Brazil, Thiago, untuk nongkrong di bar. Di dalam bar Thiago memesan bir dan penulispun mengatakan hal yang sama. Setelah paspor penulis diperiksa oleh bartender-nya penulis tidak diperbolehkan memesan bir, karena masih berumur dibawah 21 tahun. Penulis kemudian ngotot dengan mengatakan bahwa beberapa bulan lagi umur penulis akan menjadi 21 tahun. Si Bartender kemudian menjawab bahwa dia akan dipenjara kalau tetap memberikan bir kepada penulis.  Begitu pula halnya dengan merokok, penulis belum pernah menjumpai satu orangpun yang merokok dilingkungan kampus, kalaupun mahasiswanya merokok di apartemen itupun dengan sembunyi-sembunyi.

Terakhir adalah The things that we have seen in the movie, just in the movie. Kata-kata yang dicetak miring tersebut adalah hasil percakapan penulis dengan seorang gadis Amerika, Amy, ketika sama-sama terjebak hujan setelah perpustakaan tutup. Misalnya dalam film-film Amerika kita melihat aktor dan aktris dengan latah mengatakan kata-kata fuck, hell, son of a bitch, motherfucker dan kata-kata kotor semacamnya. Ternyata orang Amerika mengucapkan kata-kata tersebut kalau mereka benar-benar marah kepada orang lain. Contoh lainnya adalah mudahnya mengajak tidur seorang wanita ketika percakapan dengannya menarik, ternyata itu tidak terjadi pada faktanya kecuali kalau si wanita benar-benar mabuk. Persoalan lainnya yang menarik adalah perihal virginitas. Bahwa tidak semua orang menganut paham free sex. Amy mengatakan proporsi mahasiswi disana yang menjaga kegadisannya dengan yang tidak masih 50:50. Bahkan, dalam kesempatan yang berbeda, ketika penulis berbincang dengan mahasiswi lainnya, Faith, dia mengatakan bahwa dia telah menikah pada usia 18 tahun dengan alasan untuk menghindari perzinaan.

Sebagai penutup tulisan ini penulis hendak menyampaikan bahwa hal-hal yang penulis paparkan diatas bisa hendaknya dijadikan bahan pembanding. Sehingga dengan melihat kepada orang lain, kita dapat merenungi keadaan diri saat ini. Dimana posisi kita, negeri kita dan seterusnya. Semoga energi yang penulis dapat bisa pula dirasakan oleh pembaca tulisan ini. Wallahu’alam

 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada Mei 16, 2014 inci pengalaman

 

Tag: , ,

PRESIDEN PARTAI TUMBANG, KADER BAGAIMANA?

Kekagetan yang cukup wow dialami masyarakat Indonesia ketika mengetahui Presiden PKS ditahan dan dijadikan tersangka oleh KPK. Bagaimana tidak, PKS adalah partai yang notabene mengusung ideologi Islam sebagai platform dan azas partainya. Disisi lain sebagian masyarakat, terutama yang memiliki kesadaran politik tinggi,  sudah mengetahui bagaimana sistem pengkaderan partai ini, sistem pengambilan keputusan dan mekanisme lainnya yang telah diatur sedemikian rupa, sehingga benar-benar menjadi partai Islam ideologis . Modal sistem yang rapi tersebutlah yang membuat PKS mendapatkan tempat dihati masyarakat dan memiliki massa konkrit yang cukup banyak, dimana kebanyakan dari massa tersebut berasal dari kalangan  anak muda. Lalu dengan adanya kasus seperti ini, yang bisa dipastikan menggoncang tubuh partai disamping turunnya image partai secara keseluruhan, ketahanan PKS sebagai kelompok dipertanyakan.

Identitas Sosial PKS

Salah seorang ilmuwan psikologi Tajfel (dalam Cottam dkk, 2004) menyatakan ada tiga  prinsip dalam identitas sosial. Pertama anggota kelompok berusaha untuk mencapai atau mempertahankan rasa identitas sosial yang positif. Kedua, dasar identitas sosial adalah pada perbandingan menguntungkan yang bisa dibuat antara kelompok itu sendiri dengan kelompok yang lain. Dalam hal ini kelompok bisa menyediakan informasi pembanding antara kelompoknya dengan kelompok lain yang relevan. Ketiga, anggota kelompok akan berusaha untuk meninggalkan kelompok mereka atau bergabung dengan kelompok yang secara positif berbeda, ketika identitas sosial mereka tidak memuaskan.

Terkait dengan prinsip yang pertama, usaha kader PKS sebagai suatu kelompok tentu akan mempertahankan identitas mereka sebagai partai Islam ideologis. Pertahanan ini bisa dilakukan dengan cara yang beragam, seperti membuat counter issue bahwa Presiden partai ditahan dengan alasan konspirasi. Hal ini menjadi pilihan untuk menjaga elektabilitas partai sebagai partai Islam terbesar, apalagi pemilu sudah hampir didepan mata.

Identitas sosial PKS masih akan terjaga ketika para kader mencoba membandingkan partai mereka dengan partai lain. Misalnya kader yang ideologi Islamnya matang. Kader tipe ini akan membandingkan nilai-nilai ke-Islaman yang terdapat pada partainya dengan partai lain yang juga berazaskan Islam. Ketika nilai-nilai ke-Islaman yang terdapat pada tubuh partainya dianggap masih lebih baik dari partai lain, maka kader ini akan berusaha mengembalikan citra partainya seperti semula. Jadi dalam konteks ini, kader tidak akan tergantung kepada pemimpinnya, tetapi pada hal yang lebih bersifat substantif dan ideologis. Apalagi sistem ideologi PKS bukan tidak mengacu kepada figur seseorang , tetapi pada sistem yang dirumuskan oleh Majelis Syuro berdasarkan agama Islam. Sehingga, apapun yang terjadi pada presidennya, kader akan tetap terjaga loyalitasnya, sepanjang Majelis Syuro sebagai team penjaga sistem konsisten dalam menjalankan perannya.

Pilihan ketiga bagi kader PKS merupakan pilihan paling buruk, yakni meninggalkan partainya. Kemungkinan bisa terjadi untuk beberapa alasan. Pertama adalah faktor psikologis dunia politik. Kader yang mempertimbangkan sisi ini sebagai aspek terpenting partai, akan memikirkan citra partai setelah setelah presidennya di berhentikan karena berkasus. Karena dalam struktur partai politik, presiden atau ketua partai memegang keberpengaruhan sosial yang sangat kuat sebagaimana ia menjadi cerminan atau orang yang paling representatif dari partai tersebut secara langsung. Sehingga pada waktu pucuk pimpinan partai bermasalah, tingkat kepercayaan publik akan terdegradasi, yang pada akhirnya akan menurunkan tingkat elektabilitas partai itu sendiri. Faktor penting lainnya adalah paradoks yang terjadi antara ideologi dengan prakteknya. Hal ini berkaitan dengan internal diri kader sebagai bagian dari kelompok (dalam hal ini partai). Ketika kasus seperti ini terjadi ada semacam tekanan tersendiri yang dihadapi kader dalam bentuk goncangan emosional setidaknya dalam bentuk ekspektasi.

Ekspektasi seorang kader partai Islam terhadap kadernya bukanlah ekspektasi politis saja, akan tetapi juga dalam bentuk ekspektasi nilai. Kalau secara politis PKS mampu menempatkan dirinya sebagai partai Islam terbesar di Indonesia, mestinya PKS mampu pula menjadikan modal politis tersebut sebagai kompensasi dari ekspektasi nilai yang dimiliki kader, karena kasus yang terjadi tidak bersifat kolektif melainkan individual. Maka tugas pimpinan yang tinggal adalah bagaimana meyakinkan kader, bahwa kasus yang terjadi murni bersifat individual tidak memiliki keterkaitan apapun dalam pengembangan partai.

Dilema Kader PKS

Proses pengkaderan dalam PKS dijalankan dalam sistem yang berdasarkan ajaran Islam. Salah satunya adalah dalam bentuk halaqah, dimana sekelompok orang melakukan kajian ke-Islaman secara intensif dan rutin dengan bimbingan Murabbi ( pendidik/pembina). Hasil dari halaqah ini dapat dilihat dari karakter kader PKS yang khas. Sehingga lahirlah partai dengan corak ke-Islaman yang kental, yang berbeda dengan partai lain.

Sekarang nuansa ke-Islaman yang kental seperti itu dibenturkan dengan keadaan bahwa pucuk pimpinannya ditahan KPK karena kasus suap impor daging sapi. Konsep partai berazaskan agama dipertanyakan masyarakat, karena dinilai tidak mampu menjaga orang-orangnya dari kasus yang merugikan negara, tidak ada bedanya dengan kader partai yang tidak berlandaskan agama. Kondisi inilah yang akan membuat kader partai dilema, disatu sisi mereka sudah terbiasa dengan partai yang bernuansa Islam yang sarat dengan nilai-nilai dan ajaran tentang moralitas. Disisi yang lain, ternyata pentolan partailah yang berkontribusi besar dalam menurunkan citra partai. Lalu bagaimana? We will see buddy.

 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada November 21, 2013 inci Uncategorized

 

Rasa Agama Pada Seorang Muslim

Tulisan ini berangkat dari menurunnya sikap keberagamaan masyarakat pada umumnya saat ini. Kita bisa melihat bahwa seseorang gampang saja mengaku beragama Islam namun sebaliknya mereka tidak melakukan ajaran itu sama sekali. Islam hanyalah menjadi simbol-simbol yang kosong makna, simbol yang terabaikan. Padahal Islam merupakan suatu sistem kepercayaan, sistem nilai dan jalan hidup seseorang untuk mendapatkan ketenangan dalam hidupnya. Paparan berikut ini akan mengurai tentang rasa keberagaaman kita sebagai muslim, sehingga barangkali bisa menjadi bahan perenungan kita bersama demi meningkatkan keberagamaan kita pada masa mendatang.

Menjadi seorang muslim diawali dengan bersyahadat yang mana isinya berupa pengakuan seseorang terhadap keesaan Allah SWT dan Rasulullah Muhammad sebagai tauladan dalam segala tindak tanduk. Syahadat inilah yang menjadi perjanjian diri seseorang kepada sang Khaliq bahwa dia menyerahkan diri sepenuh hati kepadaNya. Aspek syahadat ini menimbulkan konsekuensi bahwa dalam segala bentuk perilaku individu itu mesti berdasarkan Islam. Hal ini didasarkan pada firman Allah dalam Al-Quran yang memerintahkan untuk masuk kedalam Islam secara keseluruhan.

Secara doktrinal Syahadat merupakan kewajiban pertama dari rukun Islam yang banyaknya ada lima. Setelah syahadat barulah kewajiban lain mengikuti yaitunya mendirikan shalat, berpuasa pada bulan Ramadhan, membayar zakat dan menunaikan Haji ke Baitullah bagi yang mampu. Kesemua hal diatas hukumnya wajib untuk dilaksanakan dan berdosa bila meninggalkannya.

Doktrin utama lainnya adalah rukun Iman yang jumlahnya ada enam. Pertama adalah beriman kepada Allah, beriman kepada malaikat, kepada kitab-kitab suci, kepada Rasul-rasul Allah, beriman akan adanya hari Kiamat dan beriman tentang Kadar baik dan kadar buruk. Iman dalam hal ini merupakan keyakinan yang bersifat sakral yang wajib dipenuhi setiap muslim. Iman kepada Allah memberikan konsekuensi bahwa kita wajib juga mengimani adanya malaikat Allah yang senantiasa beribadah sepanjang waktu, dan demikian juga selanjutnya dengan rukum Iman yang lain.

Seperti yang telah disampaikan diawal bahwa Islam memberikan kita hal-hal yang wajib dilakukan ketika memilih Islam. Islam memerintahkan kita untuk melakukan ritual agama dalam rangka menghambakan diri kepada Allah SWT (beribadah). Contoh dari ritual ini adalah shalat. Setiap Muslim wajib mengerjakannya sesuai tuntunan Rasulullah SAW tidak boleh melebihkan atau menguranginya. Misalnya shalat subuh jumlah rakaatnya dua, setiap muslim mesti menjalankannya dua rakaat, tidak boleh menambahnya jadi tiga atau menguranginya menjadi dua karena memang begitulah aturannya shalat subuh. Selain shalat juga terdapat beberapa ritual lainnya dalam Islam baik bersifat wajib maupun sunat. Selanjutnya dalam Islam terdapat pula aturan mengenai tatacara bergaul, berpakaian dan sebagainya. Intinya Islam merupakan sistem ilahiyah yang mengatur segala bentuk tindak tanduk manusia sepanjang zaman.

Setiap muslim yang tulus dan ikhlas beragama, mestinya menjumpai pengalaman-pengalaman yang menyentuh kalbu. Misalnya kita nyaris tertabrak motor, menjumpai kemiskinan dan sebagainya. Adalah suatu hal yang penting bagi kita untuk merenungi hal ini dan mengambil hikmahnya. Seandainya saja Allah tidak menyelamatkan kita dari tabrakan motor itu misalnya maka entah apa jadinya diri ini saat ini. Pengalaman seperti ini mestinya kembali meningkatkan rasa keberagamaan kita yang sudah turun dibawa arus zaman. Yakinilah bahwa Allah memang ada disetiap waktu dan dimanapun kita berada.

Hal yang tidak kalah penting lainnya adalah bahwa kita mesti senantiasa meningkatkan pengetahuan tentang Islam. Baik itu dalam segi pengetahuan ibadah, sejarah, hukum dan sebagainya. Fungsinya tentu saja untuk memajukan diri individu itu sendiri, sehingga dalam beragama seseorang mengilmui apa saja yang dilaksanakannya. Tidak hanya menjadi pengikut yang tidak mengetahui makna dilakukannya sesuatu dalam beragama. Tambah lagi zaman sekarang aliran sesat tumbuh menjamur diberbagai tempat sehingga kalau seorang muslim tidak mempunyai pengetahuan tentang hal itu maka akan menjadi sasaran empuk aliran sesat tersebut.

Terakhir hal yang patut ditekankan adalah Islam harus menjadi motivasi setiap muslim dalam berbuat. Sehingga perbuatan yang dilakukan tidak menjadi sia-sia belaka. Perbuatan yang dilandasi keimanan kepada Allah dinilai ibadah, meski hanya tersenyum atau menyingkiran kerikil di jalanan. Maka dari itu, setiap muslim mestinya mempertanyakan setiap perbuatan yang dijalaninya dan terus melakukan introspeksi diri terhadap semua hal yang telah dilakukannya………..>>>>> end

tulisan ini merupakan sebuah treatment pada  suatu eksperimen psikologi yang dilaksanakan penulis sendiri

 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada Juni 25, 2011 inci Uncategorized

 

FENOMENA PEMILIHAN “KATO” SEBAGAI ETIKA BERKOMUNIKASI DALAM BUDAYA MINANGKABAU DITINJAU DARI PERSPEKTIF INTERAKSIONISME SIMBOLIK

Kata “kato” disini secara bahasa berarti kata. Namun didalam bahasa Minangkabau bisa memiliki arti lebih luas, yakni kalimat. Perluasan makna yang diistilahkan disini menunjukkan pola komunikasi yang dibangun menggunakan kata dan cara yang berbeda didalam setiap berkomunikasi. Bahasa yang digunakan tergantung  siapa yang menjadi komunikan dalam komunikasi tersebut, anak kecil, sebaya, lebih besar dan lain-lain. Biasanya komunikator meng-arifi  kata macam apa yang mesti digunakannya. Kecerdasan seseorang dalam memilih “kato” secara proporsional disetiap interaksi menunjukkan kepahaman orang itu terhadap adat, lebih jauh hal ini menunjukkan status sosialnya dan wibawa keluarganya.

“Kato” dalam minangkabau terbagi empat macam :

1.      Kato Mandaki

Kato Mandaki adalah kata-kata atau kalimat yang digunakan seseorang ketika berkomunikasi dengan orang yang lebih besar. Dalam proses menyampaikan sebuah informasi biasanya komunikator menggunakan kalimat yang lebih sopan dan bertutur lebih halus. Kato Mandaki merupakan simbol kebahasaan yang menyiratkan penghormatan si komunikator terhadap komunikan yang lebih dewasa. Sejatinya , interaksi dengan orang yang lebih tua menggunakan  kato mandaki ini merupakan tradisi yang tak tertulis (adat) dalam budaya Minangkabau. Karenanya simbol kato mandaki dapat juga berarti bahwa orang yang lebih muda memahami adatnya dan seterusnya menunjukkan wibawa dirinya dan institusi keluarganya.  Sebab kalau yang muda tidak menggunakan kato mandaki ini, maka orang yang lebih dewasa akan mencapnya tidak tahu adat dan seterusnya menanyakan perihal orang tua terutama dan juga “mamak”nya (paman dari pihak ibu dan penghulunya).

2.      Kato Mandata

Kato Mandata merupakan kalimat yang digunakan seseorang ketika berkomunikasi dengan teman sebaya. Dalam interaksi dengan teman sebaya pilihan kata (diksi) yang digunakan adalah kata-kata pada lazimnya seseorang berteman.  Kato mandata ini merupakan simbol sebuah persahabatan dan keakraban antar individu. Berkomunikasi dalam konteks kato mandata biasanya seorang komunikator menggunakan kata tergantung pada keadaan komunikan. Walaupun sebaya komunikator tetap memperhatikan apakah komunikan seorang yang biasa menggunakan kata yang agak kasar ataukah sebaliknya. Hal ini dilihat dari dari status sosial seseorang ; anak buya(ustadz), anak juara kelas dll. Maka dari sini bisa di maknai bahwa kata yang digunakan oleh komunikator menjelaskan status sosial komunikannya, walaupun mereka sebaya.

3.      Kato Malereng

Kato malereng menunjukkan kalimat yang berfungsi untuk berkomunikasi antar dua keluarga yang terikat karena perkawinan (berbesanan). Berkomunikasi dalam konteks ini  pada hakikatnya adalah dalam rangka saling menghormati antar dua keluarga tersebut. Kato malereng merupakan simbol penghargaan terhadap tradisi masing-masing keluarga. Hal ini diantaranya ditunjukkan dalam interaksi mereka ketika mengunjungi satu sama lain. Walaupun berbeda tradisi, pihak keluarga yang mengunjungi biasanya menerima tradisi dari keluarga tuan rumah. Karena secara prinsip, simbol kato malereng merupakan simbol yang menjaga ikatan dua keluarga ini.

4.      Kato Manurun

Kato manurun mengisyaratkan pemilihan kalimat yang digunakan ketika berkomunikasi dengan anak yang usianya lebih kecil. Kato manurun merupakan keteladanan yang lebih besar di mata yang muda. Maksudnya adalah simbol kato manurun dimaknai sebagai simbol kasih sayang terhadap yang kecil. Sehingga kata-kata yang digunakan adalah kata-kata yang penuh kasih dan bersifat memberi contoh. Dan sebaliknya dalam interaksi ini yang lebih kecil tidak akan berani kurang ajar kepada yang tua ketika yang tua menggunakan kato manurun ini sebaik baiknya.

 
1 Komentar

Ditulis oleh pada Mei 8, 2011 inci Uncategorized

 

Analisis 7S McKinsey Terhadap IMM Yogyakarta

Paparan berikut ini berdasarkan hasil wawancara dengan saudara Syaifullah, Ketua Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Komisariat Fakultas Adab, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Shared Values

Shared Values meupakan nilai – nilai yang dianut bersama dan melekat menjadi sebuah ciri khas dalam sebuah organisasi. Dalam pandangan lain dinamakan shared Vision yaitu berupa sebuah visi yang dituju secara kolektif oleh setiap individu dalam setiap kelompok. Jadi setiap individu dalam sebuah kelompok organisasi mestinya berintegrasi dengan visi tersebut.Terkait dengan hal ini Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) memilki tiga landasan dasar yang menjadikan nilai-nilai bagi kader ataupun pengurus organisasinya. Tiga landasan dasar ini disebut dengan trilogi yaitu :

Religiusitas

à dalam konteks ke IMM-an religiusitas diartikan sebagai sebuah cita dalam

membentuk pribadi muslim yang soleh

Humanitas

à Humanitas berarti pengabdian terhadap kemasyarakatan. Pengabdian ini

merupakan interpretasi atas gerakan sosial KH. Ahmad Dahlan yang bercirikan

Islam profetik.

Intelektualitas

à Intelektualitas merupakan sebuah cita dalam membangun keilmuan dan mengupayakan terbentuknya akademisi Islam yang berintelektualitas tinggi dan berakhlak mulia

Hal yang dijelaskan diatas merupakan Shared Values IMM secara nasional. Secara Regional (ke wilayahan/cabang) masing-masing mempunyai ciri khas yang bersifat orientatif sendiri-sendiri. Syaifullah menerangkan, khusus untuk DIY setiap kabupaten/kota mempunyai ciri khas sebagai berikut :

–          Bantul memiliki orientasi politis

–          Sleman berorientasi kepada gerakan ke Ilmuan

–          Jogja memiliki kesadaran berkonstitusi yang tinggi (administrasi mapan)

–          Bulaksumur Karang Malang memiliki orientasi keagamaan yang kuat

Struktur

Kalau dalam organisasi, secara umum bisa kita bagi dua model birokrasi, yaitu Matrix  dan semi Matrix. Matrix biasanya menerapkan sistem bahwa setiap divisi mempunyai tanggung jawab penuh terhadap tugas yang di-handle-nya. Tidak bisa yang lain ikut campur dan langsung bertanggung jawab secara profesional pada atasan dan seterusnya. Semi Matrix, menerapkan sistem cross functional dimana bisa jadi dalam setiap tugas divisi, divisi lain ikut membantu menyelesaikannya.

Didalam konteks IMM, struktur  yang dibangun sejatinya menggunakan model matrix, karena dalam setiap program individu dan atau team bertanggung jawab penuh dalam merampungkan tugasnya tersebut. Menariknya, Syaifullah menjelaskan bahwa, hal ini dilakukan ketika personalia mencukupi untuk masing-masing divisi. Namun katanya, khusus untuk Fakultas Adab semi matrixlah yang kemudian digunakan, karena personalia yang belum mencukupi.

System

System merupakan sebuah kompleks yang terdiri dalam sub-sub sistem yang saling berkaitan. Ketika suatu sub sistem berubah maka akan mempengaruhi sistem secara keseluruhan. Sistem yang dibangun secara keorganisasian di IMM , bisa dilihat di bawah ini :

  1. Rapat Kerja
  2. Perumusan Program Kerja
  3. Pelaksanaan program
  4. Evaluasi atas program

Setiap program yang dibuat memiliki SOP (Standard Operating Procedure). Dan setiap program yang dibuat memiliki nilai-nilai yang bersumber dari Shared Values, sehingga masing-masing memiliki kasatuan arah dengan visi keorganisasian.

Staffing

Staff memiliki arti sebagai personalia yang menjalankan roda organisasi. Setiap person yang menjadi staff harus memahami apa yang menjadi visi dari organisasi tersebut. Sehingga satu sama lain bisa saling berintegrasi dalam sebuah keterpaduan visi kolektif. Maka untuk itu, diperlukan kriteria untuk menjaring orang yang akan menjadi staff di organisasi tersebut. IMM memiliki sejumlah persyaratan (kriteria) untuk menjadika seseorang sebagai staffnya antara lain:

–          Telah ikut pengkaderan IMM minimal tingkat dasar

–          Telah mengabdi minimal selama satu tahun

–          Memiliki intelektualitas yang cukup

Skill

Skill merupakan keterampilan dan kemampuan yang mesti dimiliki personalia organisasi dalam menjalankan programnya. Kebutuhan akan skill ini disesuaikan dengan kebutuhan organisasi tersebut. Skill yang dibutuhkan di IMM antara lain :

–          Kemampuan berargumentasi

–          Kemampuan pembacaan dan penulisan

–          Melek Internet

Skill ini dikembangkan oleh IMM dalam follow-up pasca training pengkaderan. Masing-masing potensi kader diperhatikan dan kalau bisa diwadahi oleh organisasi.

Style

Style yang dimaksud adalah gaya kepemimpinan organisasional. Dalam IMM, style ini merupakan gabungan antara otokrasi dan demokrasi. Adakalanya pemimpin bertindak  otoriter dan adakalanya mengakomodir aspirasi yang berkembang di jajaran staff dibawahnya. Syaifullah mengibaratkannya seperti kapal berlayar, bahwa nakhodalah yang menjadi titik pengambilan keputusan tentang mau dibagaimanakan kapal tersebut. Awak kapalnya berhak memberikan masukan namun sang Nakhodalah yang menjadi eksekutornya.

Strategi

Strategi merupakan sebuah sistem perencanaan bersifat makro yang dibangun secara organisasional sebelum terjun ke lapangan. Strategi dalam hal ini berkaitan dengan pengembangan organisasi (Organizational Development). IMM memiliki strategi pengembangan organisasinya sebagai berikut:

–          Mencetuskan gerakan keilmuan sebagai gol akhir, masing-masing kader sukses studinya

–          Membangun stand-stand ketika membuat sebuah acara

–          Mengembangkan jaringan seperti kepada dosen, alumni dan sponsor.

 
1 Komentar

Ditulis oleh pada Mei 6, 2011 inci analisis

 

PERGESERAN PERAN MAMAK TERHADAP ANAK DAN KEMENAKAN DALAM KEBUDAYAAN MINANGKABAU

Minangkabau adalah satu-satunya suku yang menganut sistem Matrilineal setidaknya di Indonesia. Dengan sistem kekerabatan yang bergaris keturunan perempuan ini, Minangkabau termasuk salah satu suku yang unik. Betapa tidak, seorang perempuan diserahi harta milik suku secara turun temurun. Sehingga laki-laki tidak bisa menguasai harta seenaknya, seperti yang terjadi pada sistem Patrilineal. Fungsi laki-laki hanyalah mengelola dan menghasilkan dari harta Pusaka  kaumnya tapi tidak berhak untuk memilikinya secara pribadi apalagi menjualnya. Sistem matrilineal di Minangkabau ini cukup memberikan fungsi yang cukup proporsional bagi laki-laki dan perempuan. Laki-laki sebagai pihak pengelola dan perempuan sebagai pihak penguasa harta. Secara pendidikan, seorang anak dididik dan menjadi tanggung jawab saudara laki-laki ibunya sedangkan ayahnya bertugas mencari nafkah dengan menggunakan harta kaum si perempuan tersebut.

Hal yang menjadi fokus kita dalam tulisan ini adalah terkait peran laki-laki sebagai Mamak. Terminologi mamak memiliki beberapa pengertian. Pertama adalah saudara laki-laki (adik atau kakak) dari Ibu kita. Kedua, mamak juga berarti pemangku adat (penghulu sepesukuan). Maksud penghulu sepesukuan adalah orang yang dituakan dalam sebuah suku di Minangkabau. Untuk diketahui, Minangkabau merupakan suku dalam skala besar, didalamnya juga terdapat pembagian kedalam beberapa suku-suku kecil.

Dalam konteks pengertian yang pertama, mamak mengambil peranan sebagai  pendidik dan teladan bagi kemenakannya. Mamak diserahi tanggung jawab yang besar untuk mendidik anak dari saudara perempuannya. Mamak mempunyai tugas dalam mendidik kemampuan dasar seperti, mengaji, silat (untuk laki-laki), pengetahuan adat dan pelbagai pengetahuan lain secukupnya. Hal yang lebih mendasar adalah mamak mesti melatih dan mendidik kemenakannya untuk memiliki kepribadian yang baik. Sehingga kalau seseorang melakukan tindakan tidak wajar,asusila misalnya maka yang disalahkan pertama kali adalah mamaknya.

Laki-laki (mamak) yang sudah berkeluargapun, secara adat mesti memperhatikan perkembangan kemenakannya. Kalau ada perbuatan kemenakannya yang tidak wajar maka mamak yang bertugas mengajarinya. Sehingga dalam pengertian ini laki-laki (mamak) memiliki dua fungsi sekaligus, pertama sebagai ayah yang menafkahi anak-istrinya dan yang kedua adalah mendidik dan memperhatikan kemenakannya.

Pada konteks pengertian yang kedua, mamak berperan sebagai seseorang yang bertanggung jawab atas keberlangsungan kaumnya (suku) secara adat dan dalam kehidupan sehari-hari biasanya di panggil Datuak. Dalam konteks ini mamak sebagai orang yang dituakan (penghulu) diberikan gelar oleh kaumnya. Pemberian gelar ini tergantung masing-masing suku. Contoh beberapa gelar yang diberikan adalah Datuak Bandaro Sati, Datuak Sati Batuah, Datuak Indo Marajo dan lain sebagainya. Tanggung jawab mamak dalam hal ini tentu lebih besar dari pada mamak pada pengertian yang pertama. Mamak mesti memperhatikan permasalahan kaumnya. Mulai dari sengketa tanah ulayat sampai pada pernikahan salah seorang kemenakan dari suku tersebut dengan anak dari suku lain (Perkawinan Eksogami). Hal inilah yang kemudian menjadikan penghulu adat memiliki wibawa yang cukup besar dalam suku minangkabau. Biasanya mamak yang disebut penghulu ini merupakan orang yang memiliki kemapanan dala ekonomi. Sehingga untuk mengurusi soal-soal yang pelik, seorang tidak lagi memikirkan persoalan perutnya.

Hal-hal yang dipaparkan diatas adalah kondisi Minangkabau zaman masa lampau. Sekarang ini terjadi perubahan yang cukup signifikan pada peranan mamak, baik dalam pengertian yang pertama maupun yang kedua. Pergeseran peran mamak dalam pengertian yang pertama terjadi karena sekarang ini suami dari saudara perempuan sudah mengambil peran dalam mendidik dan memperhatika tumbuh kembang anaknya. Terlebih lagi dalam suasana perkotaan hampir-hampir tidak terjadi lagi situasi dimana mamak bisa mendidik kemenakannya. Hal ini juga disebabkan pergeseran fungsi surau. Dahulu kala seorang remaja laki-laki tidur disurau sambil belajar mengaji dan silat pada mamaknya, sekarang surau tinggal menjadi tempat shalat saja. Faktor lain yang mempengaruhi adalah isteri dari seorang laki-laki (mamak) terkadang juga melarang seorang mamak sering-sering berkunjung kerumah kemenakannya. Hal ini terjadi karena ketakutan seorang isteri, bahwa nanti suaminya lebih sayang kemenakannya dari pada anaknya sendiri selain itu juga pertimbangan materil.

Pergeseran peranan mamak dalam fungsi kedua sekarang ini belum terlihat begitu signifikan. Namun dalam beberapa kondisi terutama kondisi perkotaan, penghulu adat hanya berfungsi untuk mengurus perkawinan kemenakannya dengan suku lain. Sedangkan peran lain dalam menjaga harta ulayat juga telah dibantu oleh suami dari saudara Laki-lakinya.

 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada April 24, 2011 inci Uncategorized

 

Fenomenologi Edmund Husserl

Istilah fenomenologi ini berasal dari dua kata bahasa Yunani yaitu phenomenon yang berarti penampilan sesuatu yang menampilkan diri, sesuatu yang tampak , terlihat karena bercahaya dalam bahasa Indonesia biasanya disebut gejala. Gejala tersebut bisa dipertentangkan dengan kenyataan karena memang fenomena (gejala) bukanlah hal yang nyata (Hadiwijono,1980). Contoh konkritnya adalah orang sakit kepala. Gejalanya adalah penyakit kepala itu dan menampakkan diri pada orang yang sakit. Kata kedua yaitu logos yang artinya ilmu. Secara sederhana dapat diartikan bahwa fenomenologi adalah sebuah ilmu (metode) yang menyelidiki gejala-gejala.

Immanuel Kant juga memakai istilah fenomenologi untuk menjelaskan kaitan antara konsep fisik gerakan dan kategori modalitas, dengan cara mempelajari sifat-sifat dalam relasi umum dan representasi, yakni fenomena indera-indera sifatnya lahiriah.

Hegel menggeneralisasi fenomenologi dengan merumuskannya sebagai suatu ilmu tentang pengalaman kesadaran, yaitu suatu paparan yang dialektis mengenai perjalanan kesadaran kodrati menuju kepada pengetahuan yang hakiki. Fenomenologi memperlihatkan proses menjadi ilmu pengetahuan pada umumnya dan kemampuan mengetahui sebagai perjalanan jiwa melalui gambaran kesadaran yang bertahap untuk  seterusnya sampai kepada pengetahuan yang bersifat mutlak. Dapat disimpulkan bahwa bagi Hegel, fenomena merupakan penampakkan atau fenomena dari pengetahuan inderawi: fenomena-fenomena merupakan manifestasi (penjelmaan) konkrit dan historis (perjalanan panjang) dari perkembangan pikiran manusia.

Tokoh – tokoh fenomenologi sendiri begitu banyak  seperti Ponty, Max Scheler dan Husserl. Masing memiliki corak pandangan tersendiri dalam mendeskripsikan fenomenologi. Maka untuk membuat suatu definisi tunggal dari fenomenologi adalah suatu hal yang tidak mungkin kiranya. Didalam tulisan ini penulis secara khusus hanya membahas konsep fenomenologi dari Edmund Huserl.

Tentang Edmund Husserl

Edmund Husserl  dilahirkan di Moravia, Cekoslowakia tahun 1859.Edmund Husselr memulai studi akademisnya dalam bidang Matematika dan IPA.Husserl pernah mengikuti kuiah Wilhelm Wundt di Leipzig semenjak tahun 1876 hingga dua tahun berikutnya. Setelah itu Husserl ke Berlin untuk belajar Matematika. Setelah di Berlin Husserl menuju Wina untuk menyelesaikan desertasinya. Kemudian kembali ke Berlin dan menjadi Asisten Dosen matematika. Pada tahun 1884 kembali lagi ke Wina dan belajar filsafat pada Franz Brentano.

Selama hidupnya Edmund Husserl menulis enam buah buku. Diluar itu Husserl meninggalkan 47000 halaman tulisan tangan dan 12.000 halaman tulisan ketikan. Diantara karya-karyanya itu adalah The Philosophy of Arithmetic, General Introduction to Pure Phenomenology, Lectures on the Phenomenology of Inner awareness of time, Formal and Trancendental Logic , Experience and Judgement dan Cartesian Meditation.

Dunia Fenomenologi

Satu pendekatan untuk memahami fenomenologi adalah memandangnya dengan referensi pada masalah filsafat yang paling tua dan paling mendasar. Apa kaitan antara realitas objektif yang hadir diluar pemikira dengan pemikiran yang kita miliki tentang realias objektif itu? Lantas Bagaimana dua dunia itu saling berkaitan? Cabang filsafat lain dan fenomenologi membuat usaha untuk menjawab itu semua.

Fenomenologi berangkat dari beberapa afirmasi berikut:

1)    Pemerikaan Filosofis tidak bisa dimulai kecuali dari fenomena kesadaran, sebab hanya fenomena itulah yang tersedia bagi kita, dan hanya fenomena itulah bahan yang bisa digunakan segera  oleh kita. Maka jelas bahwa fenomenologi  menggunakan kesadaran sebagai titik acuan awal untuk melakukan segala sesuatu.

2)    Hanya fenomena itulah yang membukakan kepada kita apa esensi sesuatu itu. Esensi yang dimaksudkan disini adalah hakikat dari sesuatu itu. Kesadaranlah yang kemudian melakukan identifikasi terhadap sesuatu itu mendapatkan hakikatny secara murni.

Husserl mengatakan bahwa pendekatan yang mungkin untuk mengetahui berbagai hal (fenomena) adalah dengan cara mengeksplorasi kesadaran manusia. Inilah yang sebetulnya menjadi inti (prinsip) fenomenologi yaitu eksplorasi yang sistematik dan penuh atas kesadaran manusia.

Kesadaran memiliki begitu banyak fenomena dan itu amatlah beragam. Apakah itu kejadian, manusia, pengalaman, ingatan, moods (suasana hati) dan lain-lain. Maka fenomenologi mencatat semua fenomena itu lalu mengeksplorasinya melalui suatu metode khusus yang disebut metode fenomenologis. Husserl sebenarnya bukanlah penemu metode ini. Ia hanya penyempurna yang memspesifikasi kondisi dan objeknya, serta mengangkat status fenomenologis itu menjadi sebuah prosedur filosofis yang fundamental. Karena istilah fenomenologi sendiri secara filosofis digunakan pertama kali oleh J.H Lambert (1764). Lambert mengartikan fenomenologi sebagai proses menemukan sebab-sebab subjektif dan objektif ciri-ciri bayangan objek pengalaman inderawi (fenomen).

Metode Fenomenologis

Metode ini terdiri dari apa saja yang ditemukan dalam kesadaran atau terhadap data atau fenomena kesadaran. Sasaran utama metode fenomenologis bukanlah tindakan kesadaran, melainkan objek dari kesadaran, umpamanya, segenap hal yang dipersepsi,dinilai, dibayangkan, diragukan atau disukai. Tujuan utamanya adalah menjangkau esensi-esensi hal-hal tertentu yang hadir dalam kesadaran.

Metode fenomenologis merupakan metode yang dipraktekkan secara sistematis. Spielberg (dalam Misiak & Sexton, 1988) mengatakan ada tujuh langkah. Yang paling mendasar dan umum digunakan adalah deskripsi fenomenologis. Dalam interpretasi Spielberg dibagi menjadi tiga fase yaitu :

  1. Mengintuisi

Artinya adalah mengonsentrasikan secara intens atau merenungkan fenomena. Manusia dalam ha ini merupakan makhluk yang bisa melihat fenomena-fenomena secara utuh dan kemudian meresapinya sesuai naluri

2.Menganalisis

Maksudnya adalah menemukan berbagai unsur atau bagian-bagian pokok dari fenomena atau pertaliannya. Artinya adalah manusia mamu mengidentifikasi fenomena-fenomena yang direnungkannya. Sehingga ditemukan korelasi antara setiap bagian fenomena itu hingga menjadi suatu hal yang utuh.

3.Menjabarkan

Merupakan proses penguraian fenomena yang telah diintuisi dan dianalisis, sehingga fenomena itu bisa dipahami oleh orang lain. Persoalan penjabaran adalah bagaimana membuat orang paham mengenai sebuah fenomena melalui kalimat yang kita deskripsikan kepada mereka

Syarat yang paling utama untuk keberhasilan penggunaan metode fenomenologis adalah membebaskan diri dari praduga-praduga atau pengandaian-pengandaian. Dalam mengeksplorasi kesadaran terdapat sebuah keharusan untuk menyingkirkan segala macam dalil, seperti keyakinan-keyakinan, teori-teori dan corak pikir yang telah menjadi kebiasaan. Husserl menyebut itu semua harus disimpan dalam tanda kurung (bracketed). Penyingkiran semua macam penilaian itu disebut Husserl denga epoche (istilah yunani : tidak memberikan suara). Setelah epoche ini dilakukan, barulah eksplorasi fenomena yang dilakukan dengan sadar dapat dilakukan. Karena dengan melakukan epoche penilaian terhadap fenomena tidak terdistorsi oleh subjektifitas pengamat(penyelidik).

Didalam kriteria tertentu epoche ini mirip sekaligus berbeda dengan metode meragukan segala sesuatu ala Rene Descartes, dimana dengan keraguannya terhadap Descartes ia tidak sampai kepada eksplorasi fenomenologis. Sedangkan Husserl dengan epoche-nya tidak meragukan semua hal, melainkan hanya tidak memperhatikan  semua itu hingga tuntasnya sebuah penyelidikan terhadap suatu fenomena.

Epoche dalam usaha untuk menyingkirkan segala sesuatu untuk mencapai penyelidikan fenomena memiki tiga macam reduksi (penyaringan). Reduksi ini merupakan usaha untuk mencapai bagian hakikat segala sesuatu (fenomena) yang diselidiki. Husserl sendiri mengemukakan tiga macam reduksi (dalam Hadiwijono, 1980).

  1. Reduksi  fenomenologis

Didalam reduksi ini manusia mesti meninggalkan(menyaring) pengalaman-pengalamannya untuk mendapatkan fenomena dala wujud murni dan utuh. Hal ini perlu dilakukan supaya fenomena yang diselidiki bisa masuk kedalam kesadaran , tanpa terlebih dulu di-judge oleh pengalaman. Apabila reduksi ini berhasil maka manusia dapat menemukan fenomena atau gejala yang sebenarnya. Manusia akan mengenal gejala tersebut dalam dirinya sendiri.

2.Reduksi Eidetis

Merupakan tindakan pengurungan (penyaringan) segala hal yang bukan eidos atau intisari atau hakekat fenomena. Jadi disini bisa disebut sebagai penilikan hakekat. Disinilah manusia bisa memengerti sesuatu dalam konteks hakikatnya. Umpamanya kalau manusia menyelidiki fenomena rumah, maka haru dilakukan penyaringan, mana yang merupakan inti sari rumah dan mana yang bukan.

3. Reduksi Transendental

Reduksi ini melakukan penyaringan terhadap eksistensi dan segala sesuatu yang tiada hubungan timbal balik dengan kesadaran murni, agar dari obyek itu akhirnya orang sampai kepada apa yang ada pada subyek sendiri atau dengan kata lain metode fenomenologi diterapkan kepada subjeknya sendiri dan kepada perbuatannya, kepada kesadaran yang murni.

Dunia yang tampak sebenarnya tidak dapat memberikan sebuah kepastian kepada manusia , bahwa pengertian manusia  tentang realitas adalah benar. Dalam artian yang lebih estrem, dunia tidak dapat memberikan kebenaran.

Supaya kebenaran itu didapatkan manusia maka menurut Husserl mesti dicari dalam Erlebnisse, yaitu pengalaman yang dengan sadar. Didalam pengalaman yang memang sadar ini kita mengalami diri kita sendiri atau “aku” kita senantiasa berhubungan dengan dengan dunia benda diluar kita. Didalam menikmati kesadaran kita maka yang tertinggal biasanya adalah “aku empiris”. Aku empiris ini maksudnya adalah aku yang berpengalaman, yang terikat dengan benda. Contohnya adalah aku yang sedang duduk, sedang makan, sedang bekerja dan sebagainya.Setelah aku empiris ini berlalu yang ada hanyalah “aku yang murni”. Aku yang murni ini kemudian tidak dalam wilayah empiris lagi, yang mengatasi segala pengalaman yang transedental.Karena aku yang murni ini tidak terikat dengan dunia kebendaan. Inilah dasar yang pasti dan sudah jelas kedudukannya sehingga tidak dapat dibantah lagi bagi segala pengertian.

Kesalahan Descartes yang paling fatal menurut Husserl adalah pandangannya yang dualistik terhadap manusia dan dunia. Dualismenya itulah yang membuat Descartes meisahkan subjek dengan objek yang disadarinya. Hal yang bersifat dikotomik inilah yang kemudian dicoba Husserl untuk menutupinya meski tak berarti Husserl adalah seorang Cartesian. Konsep untuk melakukannya diambil Husserl dari gurunya, Franz Brentano, yakni konsep intensionalitas kesadaran.

Konsep intensionalitas sendiri disusun Brentano dalam rangka menemukan hukum-hukum jiwa yang  memikirkan, mendengar, menilai an mencintai? Brentano kemudian menjawab pertanyaannya sendiri dengan menyatakan bahwa kesemua  tindakan mental itu ditandai oleh keterarahannya kepada sesuatu yang menjadi isinya. Intinya Brentano mendefinisikan bahwa tindakan mental itulah yang disebut dengan intensional. Husserl kemudian mengambil konsep ini dan  mengatakan hal yang senada, bahwa ciri yang esensial dari kesadaran adalah intensional ; yakni kesadaran itu selalu mengarah atau menuju kepada sesuatu (Misiak&Sexton, 1988). Namun perbedaan antara Brentano dan Husserl adalah Husserl tidak mempersoalkan status-realitas objek (isi kesadaran), karena Fenomenologi menurut Husserl berurusan dengan penjabaran fenomena “murni”, kesadaran atau pengalaman- pengalaman, tanpa mempersoalkan apakah objek yang dituju oleh kesadaran itu ada secar konkret atauh hanya khayalan (tidak real).

Tubuh Manusia Dalam Fenomenologi

Fenomenologi dalam hal ini mengemukakan istilah kebertubuhan. Ini merupaka pengartian terhadap manusia sebagai makhluk bertubuh. Istilah ini menunjuk kepada suatu hubungan yang dialektis antara manusia dan dunianya (Bertens,2005). Kata fenomenologi manusia tanpa dunia bukanlah manusia karena itu juga dunia tanpa manusia bukanlah manusia. Terdapat semacam lokalisasi hubungan antara manusia dan dunia yang dialektis ini. Yakni dengan terciptanya suatu sentral dimana tempat terjadinya semacam pertukaran manusia dan dunia yakninya tubuh. Dalam bahasa sederhanyanya, lewat tubuh aku menghadap orang lain, dan lewat tubuh pula aku mempunyai jalan masuk menuju dunia benda serta lewat tubuh pula manusia lainnya menjumpai aku. Tubuh kemudian menjadi penghubung antara subjek dengan dunianya (objek). Tubuh berfungsi sebagai penengah yang cukup unik karena tidak terpisahnya dengan aku (manusia) dan berurat berakat pula di dalam dunia. Karena Tugas utama fenomenologi menurut Husserl adalah menjalin keterkaitan manusia dengan realitas.

Dalam fenomenologi tubuh dipandang sebagai sesuatu yang berbeda. Tidak seperti didalam fisiologi tubuh memang merupakan suatu yang jelas adanya (obyektif). Tetapi yang dibicarakan fenomenologi adalah tubuh yang abstrak, yakni tubuh yang dimiliki sembarang orang.Karena memang tubuh itu secara konkrit memang tak ada. Tubuh itu adalah tubuhnya aku (manusia). Tubuh konkrit menjadi semacam daging yang selalu menyatu dengan manusia. Tubuh juga tak pernah selalu menjadi objek akan tetapi secara simultan menjadi subjek bersama-sama dengan aku.

Untuk lebih mudahnya menggambarkan tubuh, digunakanlah pemisalan tubuh dengan alat. Agak mirip dengan pernyataan Descartes yang mengataka bahwa tubuh itu adalah mesin. Namun dalam fenomenologi tubuh merupakan alat yang unik. Misalnya saat makan, aku tidak menggenggam tanganku. Yang aku genggam adalah nasi. Namun tidak boleh mengatakan bahwa aku memakai tanganku untuk menggenggam nasi. Karena hubungan pakai antara aku dan tanganku lain daripada hubungan aku dan nasi. Memang agak susah menggambarkan bagaimana sebenarnya status tubuh. Karena itulah tubuh oleh fenomenologi digambarkan secara simultan, yakni subjek dan objek sekaligus.

Kritik Terhadap Fenomenologi
Fenomenologi menjabarkan fenomena sebagaimana adanya dengan tidak memanipulasi data. Bermacam teori dan pandangan dan keyakinan yang pernah kita terima sebelumnya dalam hidup, baik dari adat, tradisi dan agama, ataupun pengetahuan lainnya dipinggirkan dulu demi mengungkap pengetahuan atau kebenaran dan kepastian yang objektif.

Selanjutnya fenomenologi melihat objek kajiannya sebagai sesuatu yang utuh, sempurn dan tidak terpisahkan dari objek yang lain. Demikianlah fenomenologi menuntut pendekatan (approach) yang holistik (menyeluruh), bukan pendekatan yang parsial (setengah-setengah), hingga pada akhirnya didapatkan pemahaman yang utuh tentag suatu objek yang diselidii. Hal inilah yang menjadi suatu kelebihan fenomenologi, sehingga banyak dipakai oleh ilmuwan-ilmuwan dewasa ini, terutama ilmuwan sosial, dalam berbagai kajian keilmuan mereka termasuk bidang kajian agama seperti hadirnya fenomenologi Islam.

Disamping kelebihannya, fenomenologi sebenarnya juga tidak lepas dari bermacam kelemahan.  Sebab tujuan fenomenologi untuk mendapatkan pengetahuan yang murni, utuh dan objektif dengan menempatkan manusia tanpa ada dipengaruhi  berbagai pandangan sebelumnya, baik dari adat, tradisi, keyakinan dan agama, ataupun pengetahuan lainnya, merupakan sesuatu yang absurd (tak jelas kedudukannya). Karena fenomenologi sendiri meyakini bahwa ilmu pengetahuan yang diperdapat tidak bebas nilai, akan tetapi bermuatan nilai .Juga karena memang tidak ada penelitian yang tidak mempertimbangkan implikasi filosofis status pengetahuan, apapun itu. Manusia tidak dapat lagi menegaskan objektivitas atau penelitian bebas nilai, tetapi harus sepenuhnya meyakini sebagai sesuatu yang ditafsirkan secara subjektif, menurut “aku” dan oleh karenanya status seluruh ilmu pengetahuan adalah sementara dan relatif. Akibatnya adalah, fenomenologi secara sempurna

takkan bisa tercapai.

Terakhir, fenomenologi memberikan kesempatan pada subjek untuk ikut terlibat dalam objek yang diselidiki, sehingga jarak antara subjek dan objek yang diselidiki kabur, samar-samar atau tidak jelas. Makanya kemudian, pengetahuan yang dihasilkan cenderung subjektif, yang hanya berlaku pada situasi, kasus dan kondisi tertentu, serta dalam kurun waktu tertentu pula. Dengan kata lain, pengetahuan dan kebenaran yang didapatkan tidak bisa digeneralisasi.

DAFTAR PUSTAKA

Misiak, Henry & V.S Sexton.1988. Psikologi Fenomenologi, Eksistensial dan

Humanistik.Bandung: Refika Aditama

Bertens,K.2005. Panorama Filsafat Modern. Jakarta: Mizan

Hadiwijono, Harun.1980. Sari Sejarah Filsafat Barat 2.Yogyakarta: Kanisius

 

 
2 Komentar

Ditulis oleh pada Januari 28, 2011 inci analisis