RSS

Arsip Tag: islamisasi

MENGEMBALIKAN ILMU PENGETAHUAN KEPADA PEMILIKNYA

bodo

Akibat dari penjajahan terhadap kaum Muslimin dimasa lampau, muncullah berbagai macam persoalan yang melanda kaum Muslimin. Ismail Raji Al Faruqi membagi persoalan ini kedalam tiga kategori. Pertama adalah persoalan dibidang politik dimana ummat Islam terpecah kedalam sekat-sekat negara. Sehingga hal ini terus menerus menyebabkan munculnya ketegangan-ketegangan antar sesama Muslim sendiri akibat berbedanya wilayah Negara mereka. Selain itu sebagai konsekuensi penjajahan yang telah berlangsung lama, ada juga kelompok dari pada masyarakat itu sendiri yang kemudian mengikuti agama penjajah, sehingga mereka terpisahkan dari  rekan-rekannya yang Muslim. Kedua, dalam bidang ekonomi dimana negara kaum Muslimin bergantung kepada Negara penjajah baik dalam bentuk perdagangan biasa, sampai kepada Industri. Ketiga, dalam bidang religius- kultural ummat Islam pecah kedalam dua bagian, yaitu golongan yang telah terbaratkan dan golongan yang sangat membenci barat[1]. Hal terakhir inilah yang kelihatan sangat signifikan hingga hari ini, karena berdampak besar terhadap ilmu pengetahuan, dimana orang-orang yang terbaratkan begitu menggandrungi pengetahuan dari Barat sementara yang lain hanya berkutat dengan persoalan-persoalan kegamaan tanpa turut berkontribusi terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dalam arti modern. Singkatnya, pada tahapan ini telah terjadi dualisme yang begitu kentara antara persoalan yang bersifat keduniaan dengan persolan yang bersifat keakhiratan.

Syed Muhammad Naquib Al Attas menjelaskan pemisahan (dualisme)  ini berakar dari paham sekulerisme yang berkembang di barat, yang muncul di abad pertengahan akibat telah lemahnya otoritas Gereja. Paham ini sering juga disebut dengan nama humanisme yang hanya mementingkan persoalan kemanusiaan dan keduniaan saja serta mengenyampingkan aspek Ketuhanan dalam kehidupan[2]. Tidak hanya berusaha meyingkirkan persoalan religius dari masyarakat, beberapa paham sekulerisme juga melihat agama sebagai tempat pelarian. Contohnya adalah pendapatnya Ludwig Feuerbach mengenai menyatakan bahwa agama adalah  proyeksi yang bersifat khayali mengenai keinginan dan harapan manusia. Konsepsi proyeksi ini kemudian dibawa oleh Karl Marx ke dalam Marxisme dan oleh Sigmund Freud ke dalam Psikologi. Marx memandang agama sebagai tempat bagi orang-orang yang merasa gagal dalam kehidupan ini. Seiring dengan itu Freud menyatakan bahwa agama merupakan ilusi yang muncul akibat penderitaan-penderitaan dari manusia. Sehingga manusia memunculkan zat yang dapat memberikan keadilan kepada mereka[3].

Keterangan diatas memberikan penjelasan, bahwa penjajahan tidak hanya membawa dampak fisik material terhadap orang yang dijajah, dalam hal ini kaum Muslimin, melainkan juga meninggalkan pemahaman yang berasal dari alam berfikir si penjajah. Karena itu, hari ini dapat disaksikan secara praktis, bahwa orientasi keduniaan dengan orientasi keakhiratan (berbasiskan agama) telah terpisah. Hal ini berlaku tidak hanya dibidang politik dan ekonomi,  tapi juga dibidang-bidang lainnya terutama pendidikan.

Pendidikan yang berlangsung saat ini membawa dampak yang cukup besar terhadap kaum Muslimin. Sebab, kata “barat” sendiri mengandung konotasi positif, karena telah berhasil membuktikan dirinya dengan kemajuan-kemajuan yang dicapainya. Oleh karena itu, banyaklah kaum Muslimin yang belajar ke barat supaya dapat ikut serta dalam kemajuan tersebut. Akibatnya, keilmuan barat yang telah diajarkan tersebut menjadi tren di institusi-institusi pendidikan Islam. Dampaknya ternyata tidak hanya pada pada ranah ilmu-ilmu yang bersifat “dunia” saja, namun juga terhadap ilmu-ilmu agama. Sehingga muncullah  hasilnya yang beberapa membuat rusuh masyarakat secara langsung seperti perempuan jadi imam shalat sampai yang terakhir ini kasus Tuhan membusuk.

Karena keilmuan barat berasaskan paham sekuler dalam artian berpusat kepada manusia dan kemanusiaan belaka serta terpisah dari aspek agama, sehingga konstruksi keilmuan itu sendiri berubah, sesuai dengan berubahnya keadaan pemahaman manusianya. Hal ini dapat dilihat dengan berubahnya tren keilmuan modern kepada keilmuan posmodern. Keilmuan modern dinilai membawa berbagai masalah seperti eksploitasi alam, membuat manusia sebagai objek sehingga menjadi seperti mesin, standar kebenaran tertinggi terletak pada ilmu positif-empiris yang menyebabkan dekadensi moral, sampai kepada mengunggulkan ras, agama tau kelompok tertentu[4]. Tawaran keilmuan posmodern diantaranya adalah konstruksi realitas mulai dari diri sampai kepada Tuhan bersifat semiotik, artifisial dan ideologis. Kemudian pluralitas dalam pengelolaan realitas. Posmodern juga tidak melihat rasionalitas sebagai kemampuan utama tapi juga kemampuan-kemampuan lainnya seperti emosi dan spiritualitas[5] dan lain sebagainya. Tren keilmuan barat yang mengalami perubahan seperti ini tentunya berdampak pula pada kaum Muslimin yang terpengaruh kepada hal tersebut. Sehingga, ketika pada zaman modern kaum muslimin konsentrasi keterpengaruhan kaum muslimin pada tataran dikotomis pemikiran, pada zaman postmodern lebih jauh lagi berupa pemberlakuan konsepsi keilmuan yang berorientasi dunia terhadap agama, sehingga lahirlah istilah seperti feminis Muslim yang mendekonstruksi konsep hubungan laki-laki dan perempuan dalam Islam.

Persoalan mendasar dalam ilmu pengetahuan diatas, dimana ilmu pengetahuan yang ada menjauhkan ummat Islam dari agamanya, melahirkan respon dari berbagai pemikir Muslim. Diantaranya adalah Syed Muhammad Naquib Al Attas, Ismail Raji Al Faruqi dan Syed Hussein Nasr dengan agenda Islamisasi Ilmu Pengetahuannya. Agenda ini bertujuan untuk mengembalikan ilmu pengetahuan yang tersekulerkan kedalam pangkuan kaum Muslimin. Paling tidak ada dua sasaran yang dituju. Pertama adalah untuk menghasilkan system ilmu yang komprehensif dalam memahami semesta dan isinya. Kedua bertujuan untuk membangun system Islam untuk kepentingan umat Islam yang diharapkan bermanfaat untuk seluruh umat manusia[6].

Sebagai sebuah jawaban atas sekulerisme yang berkembang dalam pengetahuan, Al Attas mendefinisikan Islamisasi sebagai usaha untuk:

“pertama-tama pembebasan manusia dari tradisi magis, mitologis, animistis,  nasional-kultural, dan sesudah itu pengendalian sekuler dari nalar dan bahasanya”[7].

Dalam definisi terlihat suatu gambaran yang jelas mengenai apa saja yang harus di Islamkan. Ada dua istilah penting yang digunakan dalam definisi ini yaitu pembebasan dan pengendalian. Pembebasan disini bermakna penghilangan tradisi-tradisi yang tidak sesuai dengan ajaran Islam yang bersumber dari lokalitas, maupun kawasan. Kemudian setelah itu menjaga pemikiran dan juga bahasa kaum muslimin dari kekacauan yang ditimbulkan oleh sekulerisme.

Islamisasi ini sangat erat kaitannya dengan persolan pengetahuan yang kita sebut diawal. Al Attas menyebutnya dengan istilah corruption of knowledge (kekacauan ilmu pengetahuan) yang merupakan tantangan real ummat Islam. Hal ini disebabkan oleh kebingungan yang melanda kaum muslimin sendiri dan juga pengaruh dari filsafat, sains, dan ideologi dari peradaban dan kultur kebudayaan barat Modern. Lebih jauh Al Attas menerangkan bahwa kebingungan intelektual muncul akibat pembatasan makna dari kata-kata kunci  yang menggambarkan worldview (pandangan alam) yang berasal dari wahyu. Akibatnya adalah terjadinya degradasi moral, penyimpangan kebudayaan, kemunduran agama dan nilai[8]. Worldview disini tidak dimaknai sebagai pandangan dunia, melainkan pandangan alam. Karena konsepsi pandangan Islam tidak hanya sebatas persoalan keduniaan saja, namun juga persoalan-persoalan religius seperti Tuhan, Nabi, Wahyu dan sebagainya[9].

Agenda Islamisasi Ilmu Pengetahuan ini bukanlah sekedar respon yang sifatnya temporal saja, akan tetapi merupakan usaha-usaha yang serius. Ismail Raji Al Faruqi mendirikan The International Institute of Islamic Thought (IIIT) di Washington DC pada tahun 1981. Lembaga ini kemudian banyak mengadakan pertemuan internasional, penerbitan buku, jurnal dan sebagainya[10].Walaupun lembaga tersebut tetap eksis hingga saat ini, sayangnya, Al Faruqi bersama istrinya meninggal karena dibunuh beberapa tahun setelah dia mendirikan lembaga tersebut[11]. Lebih jauh dari pada itu, Syed Muhammad Naquib Al Attas mendirikan sebuah sekolah pasca sarjana yang bersungguh-sungguh untuk mendalami keilmuan Islam yang dikenal dengan nama International Insitute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC) pada tahun 1987 dan dibuka secara resmi pada tahun 1991[12]. Tujuan pendirian lembaga ini ada dua; pertama, untuk menjelaskan konsep penting yang relevan terkait masalah pendidikan, epistemologi, kebudayaan dan keilmuan yang dihadapi kaum Muslimin saat ini. Kedua sebagai usaha untuk menjawab tantangan intelektual dan kultural dari dunia modern dan juga pemikiran dari berbagai kelompok pemikiran, ideologi serta agama[13].

Mengenai langkah-langkah yang akan dilakukan dalam melakukan Islamisasi Ilmu Pengetahuan, terdapat perbedaan antar Al Faruqi dan Al Attas. Al Faruqi menyatakan ada lima sasaran yang harus dituju. Lima sasaran tersebut adalah penguasaan disiplin ilmu modern,penguasaan khasanah islam, penentuan relevansi Islam bagi masing-masing bidang ilmu modern, pencarian sintesa kreatif antara khasanah Islam dengan ilmu modern dan pengarahan aliran pemikiran Islam kejalan-jalan yang mencapai pemenuhan pola rencana Allah SWT[14]. Dilain pihak Al Attas menyatakan dua hal fundamental yang mesti dilakukan. Pertama adalah menyisihkan unsur-unsur dan konsep-konsep kunci yang melengkapi peradaban dan kebudayaan barat. Kemudian setelah itu barulah memasukkan unsur-unsur dan konsep-konsep Islam kedalamnya[15].

Perbedaan diatas tidaklah menghilangkan substansi bahwasanya Islamisasi Ilmu Pengetahuan harus dilakukan. Sebab sudah nyata berbagai macam persoalan yang ditimbulkan oleh pengetahuan barat. Persoalan ini tidak hanya terletak pada pembatasan pengetahuan yang terpusat pada aspek rasionalitas saja, melainkah juga sampai kepada ranah praktis, bahwa semakin ramai ummat Islam tidak peduli lagi pada ajaran agamanya. Karena itulah gagasan ini patut disebarkan dan menjadi agenda bersama, terutama bagi generasi muda Islam. Sebab ilmu pengetahuan itu sendiri, dalam perspektif Islam bukanlah bersumber dari manusia dan kebudayaannya, melainkan dari sang Pencipta, Allah SWT. Sehingga kewajiban kaum Musliminlah untuk menjaga ilmu pengetahuan kaumnya supaya sesuai dengan yang digariskan oleh Allah SWT. Maka kembalikanlah ilmu pengetahuan itu kepada-Nya.

ditulis untuk pengantar diskusi Bodo-bodoan di UIN Sunan Kalijaga 12 Desember 2014

oleh Muhammad Farid Salman Alfarisi RM

tulisan ini dimuat juga dalam blog: http://bodoisme.blogspot.com/2014/12/mengembalikan-ilmu-pengetahuan-pada.html

 

Catatan Akhir:

 

[1] Ismail Raji Al Faruqi, Islamisasi Pengetahuan, Bandung: Pustaka, 2003 hal 2-11

[2] Syed Muhammad Naquib Al Attas, Risalah Untuk Kaum Muslimin, Kuala Lumpur: ISTAC, 2001 hal 19-20

[3] H.M Rasyidi, Filsafat Agama, Jakarta: Bulan Bintang, 1983 hal 112-137

[4] Sugiharto dalam Dwi Septiwiharti “Posmodernisme dan Pendidikan di Indonesia (Sebuah Refleksi Filosofis)” INSPIRASI,No X Juli 2010, hal 122-123

[5] Sugiharto, ibid hal 125-126

[6] Djamaludin Ancok dan Fuat Nashori Suroso, Psikologi Islami, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003 hal 103-104

[7] Syed Muhammad Naquib Al Attas, Islam dan Sekulerisme, Bandung: Pustaka, 1981 hal 61

[8] Syed Muhammad Naquib Al Attas, Prolegomena to The Metaphysics of Islam, Kuala Lumpur: ISTAC, 2001 hal 15

[9] Ibid, bagian Introduction

[10] Djamaludin Ancok dan Fuat Nashori Suroso, Psikologi Islami hal 107.

[11] pengantar terhadap buku Ismail R. Al Faruqi dan Lois Lamya Al Faruqi, Atlas Budaya Islam, Bandung: Mizan, 2003 hal 5

[12] Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat Pendidikan Islam Syed Muhammad Naquib Al Attas, Bandung: Mizan, 2003 hal 54 dan 207

[13] Ibid, hal 231

[14] Al Faruqi kemudian mengelaborasi kelima sasaran ini kedalam 12 langkah. Untuk jelasnya lihat Ismail Raji Al Faruqi, Islamisasi Pengetahuan, hal 98-118

[15] Syed Muhammad Naquib Al Attas, Islam dan Sekulerisme, hal 237-238

 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada Desember 17, 2014 inci analisis, wacana

 

Tag: , , , , , , , , , , ,