RSS

Fenomenologi Edmund Husserl

28 Jan

Istilah fenomenologi ini berasal dari dua kata bahasa Yunani yaitu phenomenon yang berarti penampilan sesuatu yang menampilkan diri, sesuatu yang tampak , terlihat karena bercahaya dalam bahasa Indonesia biasanya disebut gejala. Gejala tersebut bisa dipertentangkan dengan kenyataan karena memang fenomena (gejala) bukanlah hal yang nyata (Hadiwijono,1980). Contoh konkritnya adalah orang sakit kepala. Gejalanya adalah penyakit kepala itu dan menampakkan diri pada orang yang sakit. Kata kedua yaitu logos yang artinya ilmu. Secara sederhana dapat diartikan bahwa fenomenologi adalah sebuah ilmu (metode) yang menyelidiki gejala-gejala.

Immanuel Kant juga memakai istilah fenomenologi untuk menjelaskan kaitan antara konsep fisik gerakan dan kategori modalitas, dengan cara mempelajari sifat-sifat dalam relasi umum dan representasi, yakni fenomena indera-indera sifatnya lahiriah.

Hegel menggeneralisasi fenomenologi dengan merumuskannya sebagai suatu ilmu tentang pengalaman kesadaran, yaitu suatu paparan yang dialektis mengenai perjalanan kesadaran kodrati menuju kepada pengetahuan yang hakiki. Fenomenologi memperlihatkan proses menjadi ilmu pengetahuan pada umumnya dan kemampuan mengetahui sebagai perjalanan jiwa melalui gambaran kesadaran yang bertahap untuk  seterusnya sampai kepada pengetahuan yang bersifat mutlak. Dapat disimpulkan bahwa bagi Hegel, fenomena merupakan penampakkan atau fenomena dari pengetahuan inderawi: fenomena-fenomena merupakan manifestasi (penjelmaan) konkrit dan historis (perjalanan panjang) dari perkembangan pikiran manusia.

Tokoh – tokoh fenomenologi sendiri begitu banyak  seperti Ponty, Max Scheler dan Husserl. Masing memiliki corak pandangan tersendiri dalam mendeskripsikan fenomenologi. Maka untuk membuat suatu definisi tunggal dari fenomenologi adalah suatu hal yang tidak mungkin kiranya. Didalam tulisan ini penulis secara khusus hanya membahas konsep fenomenologi dari Edmund Huserl.

Tentang Edmund Husserl

Edmund Husserl  dilahirkan di Moravia, Cekoslowakia tahun 1859.Edmund Husselr memulai studi akademisnya dalam bidang Matematika dan IPA.Husserl pernah mengikuti kuiah Wilhelm Wundt di Leipzig semenjak tahun 1876 hingga dua tahun berikutnya. Setelah itu Husserl ke Berlin untuk belajar Matematika. Setelah di Berlin Husserl menuju Wina untuk menyelesaikan desertasinya. Kemudian kembali ke Berlin dan menjadi Asisten Dosen matematika. Pada tahun 1884 kembali lagi ke Wina dan belajar filsafat pada Franz Brentano.

Selama hidupnya Edmund Husserl menulis enam buah buku. Diluar itu Husserl meninggalkan 47000 halaman tulisan tangan dan 12.000 halaman tulisan ketikan. Diantara karya-karyanya itu adalah The Philosophy of Arithmetic, General Introduction to Pure Phenomenology, Lectures on the Phenomenology of Inner awareness of time, Formal and Trancendental Logic , Experience and Judgement dan Cartesian Meditation.

Dunia Fenomenologi

Satu pendekatan untuk memahami fenomenologi adalah memandangnya dengan referensi pada masalah filsafat yang paling tua dan paling mendasar. Apa kaitan antara realitas objektif yang hadir diluar pemikira dengan pemikiran yang kita miliki tentang realias objektif itu? Lantas Bagaimana dua dunia itu saling berkaitan? Cabang filsafat lain dan fenomenologi membuat usaha untuk menjawab itu semua.

Fenomenologi berangkat dari beberapa afirmasi berikut:

1)    Pemerikaan Filosofis tidak bisa dimulai kecuali dari fenomena kesadaran, sebab hanya fenomena itulah yang tersedia bagi kita, dan hanya fenomena itulah bahan yang bisa digunakan segera  oleh kita. Maka jelas bahwa fenomenologi  menggunakan kesadaran sebagai titik acuan awal untuk melakukan segala sesuatu.

2)    Hanya fenomena itulah yang membukakan kepada kita apa esensi sesuatu itu. Esensi yang dimaksudkan disini adalah hakikat dari sesuatu itu. Kesadaranlah yang kemudian melakukan identifikasi terhadap sesuatu itu mendapatkan hakikatny secara murni.

Husserl mengatakan bahwa pendekatan yang mungkin untuk mengetahui berbagai hal (fenomena) adalah dengan cara mengeksplorasi kesadaran manusia. Inilah yang sebetulnya menjadi inti (prinsip) fenomenologi yaitu eksplorasi yang sistematik dan penuh atas kesadaran manusia.

Kesadaran memiliki begitu banyak fenomena dan itu amatlah beragam. Apakah itu kejadian, manusia, pengalaman, ingatan, moods (suasana hati) dan lain-lain. Maka fenomenologi mencatat semua fenomena itu lalu mengeksplorasinya melalui suatu metode khusus yang disebut metode fenomenologis. Husserl sebenarnya bukanlah penemu metode ini. Ia hanya penyempurna yang memspesifikasi kondisi dan objeknya, serta mengangkat status fenomenologis itu menjadi sebuah prosedur filosofis yang fundamental. Karena istilah fenomenologi sendiri secara filosofis digunakan pertama kali oleh J.H Lambert (1764). Lambert mengartikan fenomenologi sebagai proses menemukan sebab-sebab subjektif dan objektif ciri-ciri bayangan objek pengalaman inderawi (fenomen).

Metode Fenomenologis

Metode ini terdiri dari apa saja yang ditemukan dalam kesadaran atau terhadap data atau fenomena kesadaran. Sasaran utama metode fenomenologis bukanlah tindakan kesadaran, melainkan objek dari kesadaran, umpamanya, segenap hal yang dipersepsi,dinilai, dibayangkan, diragukan atau disukai. Tujuan utamanya adalah menjangkau esensi-esensi hal-hal tertentu yang hadir dalam kesadaran.

Metode fenomenologis merupakan metode yang dipraktekkan secara sistematis. Spielberg (dalam Misiak & Sexton, 1988) mengatakan ada tujuh langkah. Yang paling mendasar dan umum digunakan adalah deskripsi fenomenologis. Dalam interpretasi Spielberg dibagi menjadi tiga fase yaitu :

  1. Mengintuisi

Artinya adalah mengonsentrasikan secara intens atau merenungkan fenomena. Manusia dalam ha ini merupakan makhluk yang bisa melihat fenomena-fenomena secara utuh dan kemudian meresapinya sesuai naluri

2.Menganalisis

Maksudnya adalah menemukan berbagai unsur atau bagian-bagian pokok dari fenomena atau pertaliannya. Artinya adalah manusia mamu mengidentifikasi fenomena-fenomena yang direnungkannya. Sehingga ditemukan korelasi antara setiap bagian fenomena itu hingga menjadi suatu hal yang utuh.

3.Menjabarkan

Merupakan proses penguraian fenomena yang telah diintuisi dan dianalisis, sehingga fenomena itu bisa dipahami oleh orang lain. Persoalan penjabaran adalah bagaimana membuat orang paham mengenai sebuah fenomena melalui kalimat yang kita deskripsikan kepada mereka

Syarat yang paling utama untuk keberhasilan penggunaan metode fenomenologis adalah membebaskan diri dari praduga-praduga atau pengandaian-pengandaian. Dalam mengeksplorasi kesadaran terdapat sebuah keharusan untuk menyingkirkan segala macam dalil, seperti keyakinan-keyakinan, teori-teori dan corak pikir yang telah menjadi kebiasaan. Husserl menyebut itu semua harus disimpan dalam tanda kurung (bracketed). Penyingkiran semua macam penilaian itu disebut Husserl denga epoche (istilah yunani : tidak memberikan suara). Setelah epoche ini dilakukan, barulah eksplorasi fenomena yang dilakukan dengan sadar dapat dilakukan. Karena dengan melakukan epoche penilaian terhadap fenomena tidak terdistorsi oleh subjektifitas pengamat(penyelidik).

Didalam kriteria tertentu epoche ini mirip sekaligus berbeda dengan metode meragukan segala sesuatu ala Rene Descartes, dimana dengan keraguannya terhadap Descartes ia tidak sampai kepada eksplorasi fenomenologis. Sedangkan Husserl dengan epoche-nya tidak meragukan semua hal, melainkan hanya tidak memperhatikan  semua itu hingga tuntasnya sebuah penyelidikan terhadap suatu fenomena.

Epoche dalam usaha untuk menyingkirkan segala sesuatu untuk mencapai penyelidikan fenomena memiki tiga macam reduksi (penyaringan). Reduksi ini merupakan usaha untuk mencapai bagian hakikat segala sesuatu (fenomena) yang diselidiki. Husserl sendiri mengemukakan tiga macam reduksi (dalam Hadiwijono, 1980).

  1. Reduksi  fenomenologis

Didalam reduksi ini manusia mesti meninggalkan(menyaring) pengalaman-pengalamannya untuk mendapatkan fenomena dala wujud murni dan utuh. Hal ini perlu dilakukan supaya fenomena yang diselidiki bisa masuk kedalam kesadaran , tanpa terlebih dulu di-judge oleh pengalaman. Apabila reduksi ini berhasil maka manusia dapat menemukan fenomena atau gejala yang sebenarnya. Manusia akan mengenal gejala tersebut dalam dirinya sendiri.

2.Reduksi Eidetis

Merupakan tindakan pengurungan (penyaringan) segala hal yang bukan eidos atau intisari atau hakekat fenomena. Jadi disini bisa disebut sebagai penilikan hakekat. Disinilah manusia bisa memengerti sesuatu dalam konteks hakikatnya. Umpamanya kalau manusia menyelidiki fenomena rumah, maka haru dilakukan penyaringan, mana yang merupakan inti sari rumah dan mana yang bukan.

3. Reduksi Transendental

Reduksi ini melakukan penyaringan terhadap eksistensi dan segala sesuatu yang tiada hubungan timbal balik dengan kesadaran murni, agar dari obyek itu akhirnya orang sampai kepada apa yang ada pada subyek sendiri atau dengan kata lain metode fenomenologi diterapkan kepada subjeknya sendiri dan kepada perbuatannya, kepada kesadaran yang murni.

Dunia yang tampak sebenarnya tidak dapat memberikan sebuah kepastian kepada manusia , bahwa pengertian manusia  tentang realitas adalah benar. Dalam artian yang lebih estrem, dunia tidak dapat memberikan kebenaran.

Supaya kebenaran itu didapatkan manusia maka menurut Husserl mesti dicari dalam Erlebnisse, yaitu pengalaman yang dengan sadar. Didalam pengalaman yang memang sadar ini kita mengalami diri kita sendiri atau “aku” kita senantiasa berhubungan dengan dengan dunia benda diluar kita. Didalam menikmati kesadaran kita maka yang tertinggal biasanya adalah “aku empiris”. Aku empiris ini maksudnya adalah aku yang berpengalaman, yang terikat dengan benda. Contohnya adalah aku yang sedang duduk, sedang makan, sedang bekerja dan sebagainya.Setelah aku empiris ini berlalu yang ada hanyalah “aku yang murni”. Aku yang murni ini kemudian tidak dalam wilayah empiris lagi, yang mengatasi segala pengalaman yang transedental.Karena aku yang murni ini tidak terikat dengan dunia kebendaan. Inilah dasar yang pasti dan sudah jelas kedudukannya sehingga tidak dapat dibantah lagi bagi segala pengertian.

Kesalahan Descartes yang paling fatal menurut Husserl adalah pandangannya yang dualistik terhadap manusia dan dunia. Dualismenya itulah yang membuat Descartes meisahkan subjek dengan objek yang disadarinya. Hal yang bersifat dikotomik inilah yang kemudian dicoba Husserl untuk menutupinya meski tak berarti Husserl adalah seorang Cartesian. Konsep untuk melakukannya diambil Husserl dari gurunya, Franz Brentano, yakni konsep intensionalitas kesadaran.

Konsep intensionalitas sendiri disusun Brentano dalam rangka menemukan hukum-hukum jiwa yang  memikirkan, mendengar, menilai an mencintai? Brentano kemudian menjawab pertanyaannya sendiri dengan menyatakan bahwa kesemua  tindakan mental itu ditandai oleh keterarahannya kepada sesuatu yang menjadi isinya. Intinya Brentano mendefinisikan bahwa tindakan mental itulah yang disebut dengan intensional. Husserl kemudian mengambil konsep ini dan  mengatakan hal yang senada, bahwa ciri yang esensial dari kesadaran adalah intensional ; yakni kesadaran itu selalu mengarah atau menuju kepada sesuatu (Misiak&Sexton, 1988). Namun perbedaan antara Brentano dan Husserl adalah Husserl tidak mempersoalkan status-realitas objek (isi kesadaran), karena Fenomenologi menurut Husserl berurusan dengan penjabaran fenomena “murni”, kesadaran atau pengalaman- pengalaman, tanpa mempersoalkan apakah objek yang dituju oleh kesadaran itu ada secar konkret atauh hanya khayalan (tidak real).

Tubuh Manusia Dalam Fenomenologi

Fenomenologi dalam hal ini mengemukakan istilah kebertubuhan. Ini merupaka pengartian terhadap manusia sebagai makhluk bertubuh. Istilah ini menunjuk kepada suatu hubungan yang dialektis antara manusia dan dunianya (Bertens,2005). Kata fenomenologi manusia tanpa dunia bukanlah manusia karena itu juga dunia tanpa manusia bukanlah manusia. Terdapat semacam lokalisasi hubungan antara manusia dan dunia yang dialektis ini. Yakni dengan terciptanya suatu sentral dimana tempat terjadinya semacam pertukaran manusia dan dunia yakninya tubuh. Dalam bahasa sederhanyanya, lewat tubuh aku menghadap orang lain, dan lewat tubuh pula aku mempunyai jalan masuk menuju dunia benda serta lewat tubuh pula manusia lainnya menjumpai aku. Tubuh kemudian menjadi penghubung antara subjek dengan dunianya (objek). Tubuh berfungsi sebagai penengah yang cukup unik karena tidak terpisahnya dengan aku (manusia) dan berurat berakat pula di dalam dunia. Karena Tugas utama fenomenologi menurut Husserl adalah menjalin keterkaitan manusia dengan realitas.

Dalam fenomenologi tubuh dipandang sebagai sesuatu yang berbeda. Tidak seperti didalam fisiologi tubuh memang merupakan suatu yang jelas adanya (obyektif). Tetapi yang dibicarakan fenomenologi adalah tubuh yang abstrak, yakni tubuh yang dimiliki sembarang orang.Karena memang tubuh itu secara konkrit memang tak ada. Tubuh itu adalah tubuhnya aku (manusia). Tubuh konkrit menjadi semacam daging yang selalu menyatu dengan manusia. Tubuh juga tak pernah selalu menjadi objek akan tetapi secara simultan menjadi subjek bersama-sama dengan aku.

Untuk lebih mudahnya menggambarkan tubuh, digunakanlah pemisalan tubuh dengan alat. Agak mirip dengan pernyataan Descartes yang mengataka bahwa tubuh itu adalah mesin. Namun dalam fenomenologi tubuh merupakan alat yang unik. Misalnya saat makan, aku tidak menggenggam tanganku. Yang aku genggam adalah nasi. Namun tidak boleh mengatakan bahwa aku memakai tanganku untuk menggenggam nasi. Karena hubungan pakai antara aku dan tanganku lain daripada hubungan aku dan nasi. Memang agak susah menggambarkan bagaimana sebenarnya status tubuh. Karena itulah tubuh oleh fenomenologi digambarkan secara simultan, yakni subjek dan objek sekaligus.

Kritik Terhadap Fenomenologi
Fenomenologi menjabarkan fenomena sebagaimana adanya dengan tidak memanipulasi data. Bermacam teori dan pandangan dan keyakinan yang pernah kita terima sebelumnya dalam hidup, baik dari adat, tradisi dan agama, ataupun pengetahuan lainnya dipinggirkan dulu demi mengungkap pengetahuan atau kebenaran dan kepastian yang objektif.

Selanjutnya fenomenologi melihat objek kajiannya sebagai sesuatu yang utuh, sempurn dan tidak terpisahkan dari objek yang lain. Demikianlah fenomenologi menuntut pendekatan (approach) yang holistik (menyeluruh), bukan pendekatan yang parsial (setengah-setengah), hingga pada akhirnya didapatkan pemahaman yang utuh tentag suatu objek yang diselidii. Hal inilah yang menjadi suatu kelebihan fenomenologi, sehingga banyak dipakai oleh ilmuwan-ilmuwan dewasa ini, terutama ilmuwan sosial, dalam berbagai kajian keilmuan mereka termasuk bidang kajian agama seperti hadirnya fenomenologi Islam.

Disamping kelebihannya, fenomenologi sebenarnya juga tidak lepas dari bermacam kelemahan.  Sebab tujuan fenomenologi untuk mendapatkan pengetahuan yang murni, utuh dan objektif dengan menempatkan manusia tanpa ada dipengaruhi  berbagai pandangan sebelumnya, baik dari adat, tradisi, keyakinan dan agama, ataupun pengetahuan lainnya, merupakan sesuatu yang absurd (tak jelas kedudukannya). Karena fenomenologi sendiri meyakini bahwa ilmu pengetahuan yang diperdapat tidak bebas nilai, akan tetapi bermuatan nilai .Juga karena memang tidak ada penelitian yang tidak mempertimbangkan implikasi filosofis status pengetahuan, apapun itu. Manusia tidak dapat lagi menegaskan objektivitas atau penelitian bebas nilai, tetapi harus sepenuhnya meyakini sebagai sesuatu yang ditafsirkan secara subjektif, menurut “aku” dan oleh karenanya status seluruh ilmu pengetahuan adalah sementara dan relatif. Akibatnya adalah, fenomenologi secara sempurna

takkan bisa tercapai.

Terakhir, fenomenologi memberikan kesempatan pada subjek untuk ikut terlibat dalam objek yang diselidiki, sehingga jarak antara subjek dan objek yang diselidiki kabur, samar-samar atau tidak jelas. Makanya kemudian, pengetahuan yang dihasilkan cenderung subjektif, yang hanya berlaku pada situasi, kasus dan kondisi tertentu, serta dalam kurun waktu tertentu pula. Dengan kata lain, pengetahuan dan kebenaran yang didapatkan tidak bisa digeneralisasi.

DAFTAR PUSTAKA

Misiak, Henry & V.S Sexton.1988. Psikologi Fenomenologi, Eksistensial dan

Humanistik.Bandung: Refika Aditama

Bertens,K.2005. Panorama Filsafat Modern. Jakarta: Mizan

Hadiwijono, Harun.1980. Sari Sejarah Filsafat Barat 2.Yogyakarta: Kanisius

 

 
2 Komentar

Ditulis oleh pada Januari 28, 2011 inci analisis

 

2 responses to “Fenomenologi Edmund Husserl

  1. Prima

    Juni 10, 2011 at 3:11 am

    mau tanya bang, dalam teori fenomenologi ada yang namanya kesadaran subyektif, obyektif, dan intersubyektif… mohon penjelasannya secara sederhana saja bang… karena saya sangat bingung antara kesadaran subyektif dan intersubyektif… mohon diberi contoh juga ya bang… trims

     

Tinggalkan komentar